Rintik hujan mulai membasahi kaca mobil Jingga. Keheningan terjalar diantara mereka. Ya, Juna sudah diizinkan pulang, namun ia tetap belum bisa melakukan hal berat.
Kedua kakak-beradik itu terus diam tanpa ada percakapan. Suara radio yang biasanya terdengar pun kini memilih untuk bungkam. Kecanggungan mereka kian terasa tatkala lampu berubah menjadi merah.
"Jahitannya masih sakit?" Jingga membuka suara di tengah keheningan yang menyiksa keduanya itu.
"Kadang" jawab Juna singkat. Matanya memilih melihat keluar jendela dan memandangi mobil-mobil yang ada tepat berada di sebelah mereka.
Jingga menoleh sedikit untuk melihat keadaan Juna. Gips yang terpasang di tangannya, kepalanya yang masih dihiasi kapas dan plester luka. Serta beberapa luka lain.
Rasa sakit Juna mungkin lebih terfokus pada luka-lukanya, tapi rasa sakit yang Jingga rasakan jauh di dalam lubuk hatinya. Ia merasa menyesal karena tidak bisa menjaga Juna dengan baik.
Ia tau, bukan sepenuhnya salahnya, tapi ia tetap merasa seperti turut andil atas semua luka Juna. Rasa bersalahnya masih menyelimuti seluruh relung hatinya.
"Kenapa kamu ga nembak Lentera dari dulu?" Tanya Jingga mencoba membuka percakapan lain saat lampu mulai berubah menjadi hijau.
Juna menghela nafasnya sedikit kasar "Gw ga suka ditolak." Jawabnya singkat "—apalagi sama Lentera" lanjutnya.
Jingga melirik Juna sekilas "Dia juga suka sama kamu. Dia sendiri yang bilang sama kakak"
Ucapan Jingga sukses membuat Juna menoleh dengan sedikit terkejut dan tidak percaya.
"Kalo dia suka sama gw, kenapa dia malah—" Juna tak mampu meneruskan kalimatnya. Dalam dirinya sudah seperti banyak petasan yang membuat perutnya terasa aneh.
Ini terlalu tiba-tiba. Juna jadi bingung harus senang atau kaget.
"Itu yang kakak ga tau. Kakak rasa dia punya rahasia dibalik semua ini. Mungkin ini menyangkut Gytha, atau..." Jingga menghela nafasnya, fikirannya terlalu berat "Kakak ga tau alasan dia sebenernya apa"
Sebuah perasaan penasaran mendadak tumbuh di hati Juna. Ia mencoba menguburnya, namun perasaan itu kian menguat.
"Lo ga masalah kalo dia suka sama gw?" Tanya Juna sambil mengusir semua tanya dalam hatinya.
Jingga terdiam selama beberapa saat dan berpura-pura fokus ke jalanan.
"Dari awal kakak cuma mau dia isi diary Gytha. Dia ga harus suka sama kakak." Jawab Jingga yang terdengar bodoh, bahkan untuk dirinya sendiri.
"Terus? Destinasi terakhirnya? Lo yakin ga butuh dia buat suka sama lo? Terus lo mau nikah cuma buat main-main?" Tanya Juna dengan alis tertaut.
Jingga mengeratkan genggamannya pada stir mobilnya. Namun tiba-tiba ia menyadari sesuatu.
"Arjuna... Kamu sadar sesuatu?" Tanya Jingga dengan raut wajah serius.
"Sadar apaan?" Juna balik bertanya dengan sedikit gentar.
"Kakak rasa dia mau nolongin kakak karena dia tau ini ga bakal berlangsung lama" ucap Jingga penuh hati-hati.
Juna mengerutkan dahinya, ingatan soal penyakit Lentera seolah menghantuinya "... Maksud lo apa? Gw ga ngerti" ucapnya penuh kebohongan.
Jingga membuka mulutnya. Lalu menggelengkan kepalanya.
"Lupain aja. Kakak juga ga mau berasumsi macem-macem." Jingga mematikan mesin mobilnya karena mereka sudah sampai di halaman rumahnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ineffable [END]
Fiksi Umum[Ineffable Universe Phase 1] "I always grateful for everything I have. Home, job, friends- -and also you." -Pradipta Jingga Danendra