8 - PENGAKUAN

539 81 13
                                    

Jingga mengunjungi ruangan Mentari untuk menceritakan semua kegelisahannya.

Ia mengetuk beberapa kali sebelum membuka pintunya.

"Wah, tumbenan kesini? Ngapain? Mau minjem duit? Ah ga mungkin, seorang Jingga ga mungkin jatuh miskin. Kecuali nih rumah sakit runtuh" ucap Mentari yang mengambil kesimpulan sendiri.

Jingga merotasikan bola matanya, lalu melenggang masuk ke ruangan Mentari. Ia duduk di kursi pasien dan mengetuk-ngetuk meja Mentari.

"Menurut lu... Kalo gw suka sama cewek gimana?" Tanya Jingga.

Mentari mengerutkan dahinya "Ya bagus dong! Kecuali kalo lo belok, baru gw kaget" ucapnya.

"- emang siapa?"

Sudah Jingga duga pasti Mentari akan bertanya begitu.

Jingga sebenarnya tadi sudah bertekad untuk memberitahu Mentari, namun sewaktu sampai di ruangannya, ia jadi takut.

"Mmm... Gw ga tau sih lo kenal atau engga..." Jingga menggigit bibirnya resah.

Mentari memiringkan kepalanya untuk menatap wajah Jingga lebih jelas "Tell me"

Dengan sedikit helaan nafas, Jingga merapalkan doa dalam hati agar setidaknya Mentari tidak membunuhnya disini.

"Namanya Lentera. Lentera Crishanta Naresha" Jingga mengucapkannya sambil memikirkan wajah dari pemilik nama yang cantik itu.

Sedetik.

Dua detik.

Tiga detik.

"WAIT! Gw yang salah denger atau-"

"Lo ga salah denger" jawab Jingga pelan.

Mata Mentari yang sudah bulat, kini kian membulat. Ia menatap Jingga tidak percaya. Lalu ia menutup mulutnya.

"LO GILA YA?! BISA BISANYA LO DEMEN AMA BOCAH?!!" Mentari menggebrak mejanya.

Jingga menunduk seperti anak yang tengah dimarahi ibunya.

"Gimana ceritanya lo bisa suka sama dia sih?! Lo ga malu apa sama umur?!" Mentari kembali mengomel dengan segenap hatinya.

"Dia ngingetin gw sama Gytha. Disaat gw lagi kangen-kangennya sama Gytha, dia dateng dan- ya... gini jadinya" ucap Jingga tanpa berani menatap Mentari.

Mentari menarik rambut depannya ke belakang. Heran sekaligus takjub dengan orang sejenis Jingga.

Sebelum Mentari marah lebih jauh, Jingga terlebih dahulu menjelaskan soal buku diary milik Gytha dan misi yang harus ia lakukan. Mentari yang awalnya emosi tingkat antariksa, kini menjelma menjadi pendengar yang baik. Keluarga Arkana memang pendengar yang sangat sangat baik.

"Jadi lo mau ajak dia ke semua destinasi itu?" Tanya Mentari.

Jingga mengangguk. Diiringi helaan nafas kesal dari mulut Mentari.

"It means, lo mau nikahin dia juga? Excuse me sir, umur lo sama dia beda 11 tahun! Lo nikah sama dia, keburu mati duluan!" Mentari mencoba menjadi komentator yang realistis.

Jingga mengerutkan dahinya "Terus gw harus gimana?? Gw harus nyelesain misi itu secepatnya! Karena gw yakin, makin tua, gw bakal makin susah buat datengin semua destinasi itu. Ngerti sampe sini?"

Mentari tertawa lagi. Menertawai kebodohan Jingga pastinya.

"Terus, lo udah tanya dia? Lo yakin dia mau? Lo yakin adek lo ga bakal marah kalo tau lo ajak gebetannya pergi kemana-mana? Apalagi kalo dia tau ujungnya lo bakal nikahin dia? Please ya, gw tau lo berdua emang ada bakat jadi musuh abadi, tapi ga gini juga, Jinggggg!!" Mentari gemas sendiri karena sahabatnya terlalu bodoh soal cinta.

Ineffable [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang