Setelah MOS selesai, kegiatan belajar dan mengajar pun dimulai. Sesuai dengan gosip seniorku dulu, ipa 1 benar-benar membosankan. Setelah tiga minggu lebih mengenal mereka, aku jadi hafal berbagai kebiasaan mereka.
Tidak semuanya kutu buku sih, tapi tetap saja saat istirahat mereka lebih banyak menghabiskan waktu di kelas. Hanya cowok-cowok di kelasku saja yang rutin keluar untuk makan di kantin. Itupun mereka cuma lima orang.
Selebihnya menghabiskan jam istirahat di kelas. Tentunya setelah membeli makanan di kantin. Ada juga yang nongkrong cantik di perpustakaan seperti yang aku lakukan saat ini.
Tapi, berbeda dengan mereka yang lebih tertarik membaca buku pelajaran, aku lebih suka ensiklopedia. Catat loh, hanya untuk lihat-lihat saja, bukan dibaca.
Saat jam istirahat hampir selesai, biasanya aku mencari beberapa novel untuk dipinjam, supaya aku bisa membacanya saat di rumah. Daripada membeli, bukankah lebih boros? Apalagi aku tipe orang yang gampang bosan.
Tepat saat ingin keluar dari perpus, aku berpapasan dengan seseorang yang baru masuk dengan menenteng buku pelajaran dengan jumlahnya yang tak sedikit. Dia adalah Vino si senior songong. Ah aku masih ingat namanya ya?
Vino terlihat berbeda dari biasanya, karena hari ini dia memakai kaca mata. Ia terlihat seperti seorang kutu buku.
Aku hanya acuh tanpa ada niat untuk menyapa. Bukannya sombong, sok akrab tidak ada dalam kamusku.
Di perjalanan menuju kelas, teriakan seseorang menghentikan langkahku. Kenapa orang suka sekali berteriak sih?
"Diana!" Aku berbalik menghadap ke belakang. Ada Vino yang berlari mendekat kearahku. Mau apa dia?
"Lo budeg ya? Gue panggil dari tadi gak denger. " Katanya dengan nafas ngos-ngosan. Basa-basinya memuakkan. Kenapa gak to the point aja? Aku mengangkat bahu acuh dan kembali melanjutkan berjalan. Tapi ia menahan lenganku.
"Nanti ikut latihan di lapangan. Jangan kayak kemaren-kemaren lagi. Kan gue udah nitip pesan ama anak kelas lo yang ikut basket, mereka selalu nyampein pesan gue ke lo. Tapi lo gak pernah hadir di lapangan." Aku menatapnya tajam.
"Emang gue bilang ya mau ikutan basket? Gak kan?" Sarkasku.
"Gak sih." Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Tapi... Pak Rama nanyain lo terus. Ah iya Pak Rama." Katanya seraya manggut-manggut. Aku menghela nafas lelah.
"Gue gak janji." Balasku seraya pergi. Tapi lagi-lagi ia menahan tanganku.
"Apa lagi sih?" Aku menyentak lengannya kasar. Aku paling tak suka disentuh oleh orang asing.
"Lo berubah, Na." Tatapan matanya yang awalnya tajam berubah menjadi sendu. Ada kesedihan disana.
"Lo tau apa tentang gue?" Jawabku sinis. Ia diam. "Jangan mentang-mentang dulu kita satu klub, lo jadi sok akrab gini sama gue. Gue bahkan gak inget pernah kenal lo." Aku hendak pergi, tapi sekali lagi ia menahanku.
"Hampir dua tahun gak ketemu ternyata lo banyak berubah ya, Na." Ia tersenyum. Tapi senyuman itu tak berarti apapun buatku.
"Udah ngomongnya? Sekarang gue udah boleh pergi kan?" Tanyaku. Ia menggeleng.
"Nanti gue tunggu di parkiran. Awas kalo pulang duluan." Dia mulai seenaknya lagi. Sebenarnya dia kenapa sih? Kenapa dia begini?
"Kalo gue gak mau?" Tantangku.
"Gue bakal cari lo!" Katanya tegas.
"Maksud lo apa sih? Gue kan udah bilang kalo gue itu gak kenal ama lo." Ia menarik tanganku, kemudian meletakkan sesuatu di genggamanku dan menutupnya dengan jari-jariku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laksana [END]
Teen FictionWajah datar dan kaku menghiasi hari-hariku selama 2 tahun terakhir. Ini adalah bentuk pertahanan diri, agar orang lain tidak memandangku dengan tatapan kasihan. Aku benci itu. Semua berjalan seperti air mengalir. Hidupku tentram walaupun terlihat mo...