"Mengagumi dari jauh pun gak masalah, asal kamu berjanji kalau kamu akan tetap baik-baik saja."
Diana
*
*
*"Oma Rina tau lo sekolah di Pembina Bangsa. Awalnya dia nyuruh Sana buat pindah, tapi Sana nolak. Akhirnya mereka sepakat kalo Sana tetap sekolah disana dia harus jaga jarak dari lo. Kata Sana ada yang jadi mata-mata oma disana, tapi dia belum tau siapa. Makanya di sekolah dia tetap jaga jarak sama lo. Setidaknya sampe dia tau siapa mata-mata itu." Hal itulah yang membuat Sana susah mendekatiku, persis seperti beberapa hari belakangan ini.
Aku dan Sana sering berpapasan di koridor sekolah dan yang paling sering bertemu di perpustakaan. Tapi tak ada satupun yang menyapa. Setiap ingin memulai pembicaraan, aku selalu teringat pada ucapan kak Dirga waktu itu.
Aku hanya bisa memperhatikan Sana dari jauh. Beberapa kali aku melihatnya bermain basket saat pulang sekolah bersama teman-temannya. Sana dari dulu selalu menjadi siswa populer. Karena itulah dulu aku sempat di bully karena dianggap menumpang pada kepupolerannya. Mereka bilang aku tergantung pada Sana sehingga aku tidak bisa berdiri dengan kakiku sendiri. Ucapan mereka ternyata tidak salah.
Terlalu asik bersandar pada Sana membuatku sadar bahwa tak selamanya ia akan menjadi penopang disaat aku butuh sandaran. Aku terlalu menganggap Sana berharga sehingga saat kehilangannya jiwaku merasa tak terima.
Tapi dua tahun ini aku sudah membuktikan kalau perlahan aku mulai terbiasa tanpa kehadiran Sana. Rasa bersalah itu masih ada, tapi karna rasa itulah aku bisa berusaha untuk berdiri dengan kakiku sendiri. Setidaknya aku tidak akan membuat seseorang celaka karena melindungiku.
"Lo inget waktu Papa terpaksa jual vila di Bogor setelah kecelakaan dua tahun lalu itu terjadi?" Tanya Kak Devy. Tentu saja aku mengingatnya. Vila di Bogor milik keluargaku adalah tempat favorit aku dan Sana untuk menghabiskan waktu liburan. Beberapa minggu setelah Sana dibawa keluar negri, vila itu terpaksa dijual.
Dulu saat Papa bercanda ingin menjual vila itu, aku selalu ngamuk. Karena buatku vila itu menyimpan kenangan yang baik untukku. Tapi saat Papa benar-benar ingin menjualnya, aku tidak berani protes. Toh buat apa? Aku mungkin tidak akan kesana lagi karena hanya akan mengingatkanku pada Sana.
"Perusahaan Papa dalam kondisi kritis waktu itu, terancam bangkrut. Banyak investor yang narik saham. Itu ulah Oma." Perkataan Kakakku terngiang-ngiang di telingaku. Awalnya aku tidak percaya. Tapi katanya Papa pun tau akan hal itu dan Papa menutupinya dariku, sehingga aku baru mengetahuinya. Entah kenapa aku ketakutan karena itu.
Tapi sejujurnya, aku tak percaya Oma melakukan hal itu. Kalaupun benar itu ulah Oma, aku yakin Oma punya alasan di balik itu semua. Yang aku tau Oma bukanlah orang yang seperti itu. Kalaupun Oma membenciku, tapi Oma tidak mungkin melibatkan kedua orang tuaku dalam hal ini. Mereka sama sekali tidak salah. Akulah yang salah dalam hal ini, dan hanya aku yang pantas mendapatkan hukuman.
Aku tidak apa-apa kalau harus kesulitan, tapi aku tak tega kalau ulahku membuat keluargaku ikut terkena imbasnya. Mereka terlalu berarti untukku.
---
Setelah hampir dua bulan bersekolah disini, untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di kantin. Itupun atas paksaan Fatih dan Weli yang tiba-tiba saja pergi ke kelasku. Akhirnya aku mengiyakan, daripada mereka membuat keributan di kelasku.
"Mau pesen apa lo? Kali ini gue yang traktir." Tanya Fatih padaku. Fatih mentraktir adalah keajaiban. Dia jarang sekali mentraktir orang lain, lebih dering minta ditraktir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laksana [END]
Teen FictionWajah datar dan kaku menghiasi hari-hariku selama 2 tahun terakhir. Ini adalah bentuk pertahanan diri, agar orang lain tidak memandangku dengan tatapan kasihan. Aku benci itu. Semua berjalan seperti air mengalir. Hidupku tentram walaupun terlihat mo...