"Mama? Cewek ini bukan Mama saya. Sampai kapanpun dia cuma seorang pelakor, gak lebih dari itu." Rahangnya mengeras. Emosi kembali mengambil alih dirinya.
"Sana!"
"Jangan pernah panggil saya Sana. Panggil saya Vino. Karena mulai hari ini Anda bukan orang terdekat saya lagi." Nafasnya terdengar memburu.
Apa masalah ini yang membuat Sana kacau? Apa karena Ayah punya wanita lain?
"Dan lo!" Sana menunjuk wanita itu. "Suatu hari nanti lo akan dapat balasan atas semua yang udah lo lakuin. Lo orang yang gak tau balas budi. Bunda gue baik sama lo tapi malah gini balasan lo? Puas lo sekarang udah hancurin hidup Bunda gue? Puas hah?" Maki Sana.
Tangan Ayah terangkat untuk menampar Sana, hingga membuatnya tersungkur. Aku meringis.
Sana terkekeh dan langsung berdiri dengan tegak. Ia tak goyah sedikit pun. Ia masih terlihat tangguh. Hari ini benar-benar puncak kemarahannya. Aku yang hanya mendengar dari jauh tidak sanggup menyaksikan semua. Apalagi dia yang mengalaminya.
"Besok berkas perceraian Anda dengan Bunda saya sampai di pengadilan. Silahkan nikahi istri Anda secara resmi. Tapi Anda harus ingat, saya gak akan biarin hidup kalian tenang." Jadi dia sudah jadi istri Ayah? Aku tersenyum miris.
Ayah yang aku kira adalah orang hebat tapi ternyata tidak. Semua perkiraanku runtuh seketika.
"Saya gak akan cerai." Sana berdecih.
"Bukan Anda yang mutusin semuanya, tapi Bunda. Anda pikir saya akan biarin Bunda saya terus-menerus disakitin? Anda nyakitin Bunda saya, saya akan balas yang lebih menyakitkan." Ancam Sana. Ia bahkan mulai menunjuk-nunjuk Ayah. Aku harus apa?
"Kamu berani ya sama ayah kamu sendiri? Durhaka kamu Sana." Teriakan Ayah terdengar menggelegar di rumah ini. Air mataku menetes membasahi pipi, tak sanggup lagi menahannya.
"Ayah? Anda ngerasa masih pantas dipanggil ayah setelah apa yang Anda lakuin ke Bunda saya? Anda gila ya?" Sentak Sana penuh amarah
"Sana!"
"Sudah saya bilang jangan pernah panggil saya Sana. Panggil saya Vino. Anda bukan siapa-siapa saya." Ulang Sana.
Aku berjongkok dan menyandarkan kepalaku ke lutut. Aku tidak sanggup lagi mendengar ini semua. Aku juga tak tau harus berbuat apa. Kenapa aku merasa seperti orang bodoh disini?
"Dasar anak tidak tau diuntung." Maki Ayah.
Ucapan tersebut membuat kepalaku berdiri tegak. Cukup sudah. Aku tidak sanggup lagi kalau hanya diam seperti ini. Ayah sudah keterlaluan. Lagipula kalau Sana dibiarkan saja seperti ini, aku tak tau apa yang akan terjadi. Ia sudah terlanjur emosi.
Saat Ayah ingin memukul Sana lagi, aku langsung memasuki rumah. "Cukup!" Teriakku.
Ayah menatapku kaget. Sana pun lebih kaget. Sedangkan wanita yang berdiri di samping Ayah hanya menatapku sekilas seperti tak peduli.
"Ayah jahat ya." Aku menghapus air mataku. Ayah hanya diam sambil mengalihkan pandangannya kearah lain. "Ternyata Ayah selingkuh. Aku kagum sama Ayah." Ayah menatapku tajam. Sana yang paham kalau aku sedang membangkitkan kemarahan Ayah, menarik tanganku mendekat padanya.
"Tau apa kamu?" Wanita yang berdiri di samping Ayah akhirnya mulai bersuara. Aku tertawa pelan.
"Jadi pelakor kok belagu." Ejekku sambil melipat kedua tangan di dada. Pelakor zaman sekarang emang aneh-aneh ya.
"Heh anak kecil. Jangan sok tau kamu ya."
"Sorry ya Tante, gue udah gede." Cibirku. Enak saja dia kalau ngomong. Masa iya ada anak kecil sebesar aku?
KAMU SEDANG MEMBACA
Laksana [END]
Teen FictionWajah datar dan kaku menghiasi hari-hariku selama 2 tahun terakhir. Ini adalah bentuk pertahanan diri, agar orang lain tidak memandangku dengan tatapan kasihan. Aku benci itu. Semua berjalan seperti air mengalir. Hidupku tentram walaupun terlihat mo...