Bunga kamboja yang sedang mekar berguguran diatas tanah merah basah yang diatasnya ada taburan bunga. Dengan wangi semerbak, bunga ini terlihat sangat indah walaupun kadang sering dikaitkan dengan hal-hal yang mistis.
Laksana ada disana. Ia masih setia memegangi nisan putih yang belum lama terpasang. Wajahnya mengatakan kalau ia kuat, tapi matanya mengatakan bahwa ia sangat bersedih.
Sejak Bunda dibawa pulang, ia terlihat berusaha untuk tegar. Rangkaian proses penyelenggaraan jenazah telah dilaksanakan. Mulai dari memandikan, mengafani, menyalatkan, dan menguburkan. Semuanya telah usai.
Aku berjongkok di sampingnya, merangkul bahunya seraya menguatkan. Mulutku tak bisa berkata apapun karena tak tau harus mengatakan apa. Semoga saja dengan kehadiranku, bisa sedikit mengobati rasa kehilangan yang teramat besar itu.
Ayah juga disana, terduduk di samping tanah merah itu, tepat dihadapanku. Gumaman maaf masih terucap dari bibirnya yang terlihat pucat. Sesekali mengusap matanya yang basah. Kesedihan dan penyesalan, keduanya menjadi satu.
Oma berdiri tak jauh dari kami. Kaca mata hitam menutupi matanya yang memerah. Seseorang di sampingnya masih dengan setia memayunginya. Hanya kami yang tersisa disini.
"Kita pulang." Ucap Sana akhirnya. Ia berdiri dan menarik tanganku supaya ikut berdiri. Sementara Ayah masih menunduk.
"Ayah." Panggilku. Ayah menegakkan kepalanya dan tersenyum menatapku. Senyum pertama yang ditunjukkan setelah kepergian Bunda. Senyum tulus yang selama ini tersembunyi di balik wajah tegas itu. Senyum hangat yang akhirnya tampak juga.
"Ayah titip Sana ya, Na." Cicitnya.
"Anda..." Aku menggenggam tangan Sana supaya ia tidak menyela ucapan Ayah. Dari ekspresinya saja sudah terlihat kalau emosinya mulai naik. Entah apa yang ingin dia bicarakan, tapi aku rasa bukan sesuatu yang baik. Terdengar jelas dari nadanya.
"Iya Yah, Ayah hati-hati ya pulangnya." Sahutku. Aku sendiri tak tau Ayah akan kemana. Terakhir kali Arka memberi tahu kalau Ayah tinggal di apartemen, tanpa istri barunya itu. Entah apa yang terjadi, aku hanya tak ingin mencampuri urusan pribadi Ayah.
"Sana." Panggil Ayah. Sana mendengus dan membuang muka. Ayah berdiri dan menatapnya lekat. "Ayah tau kalau Ayah salah, dan Ayah menyesal untuk itu. Kamu memang perlu waktu untuk memaafkan Ayah dan Ayah akan menunggu. Jaga diri kamu baik-baik ya." Tutur Ayah. Walaupun Ayah berkata sambil berusaha untuk tersenyum, tapi terlihat jelas kalau matanya menunjukkan tatapan merasa bersalah.
Benar kata Ayah, Sana butuh waktu. Aku yakin tidak akan lama karena bagaimanapun Ayah tetap ayahnya. Ia tak marah lagi, hanya kecewa.
Ayah melangkahkan kaki pergi. Diikuti oleh Oma dibelakangnya. Sekarang hanya tinggal aku dan Sana.
"Kita pulang ya?" Ajakku. Sana kembali terdiam sambil memperhatikan punggung Ayah yang mulai menjauh.
Tetesan air mata kembali membasahi pipinya. Ia mengubah posisinya menjadi membelakangiku supaya aku tidak melihat kalau dia sedang menangis. Tapi aku sudah terlanjur melihatnya.
Aku memeluknya dari belakang. Tangan kiriku membelit pinggangnya, sementara tangan kananku mengusap-usap lengannya. Dia rapuh tapi enggan menunjukkan kepada semua orang.
Isakannya mulai terdengar keras. Air mataku ikut turun membasahi punggungnya.
"Lo harus ikhlas supaya Bunda tenang. Gue tau lo sedih, tapi gue yakin Bunda gak mau liat lo sedih. Buat Bunda senang dengan berusaha untuk ikhlas. Lo gak sendiri. Gue akan nemenin lo terus. Kita akan berusaha bikin Bunda bahagia diatas sana."
Aku memutar tubuhnya agar menghadapku. Ia mengalihkan tatapannya dariku, sambil sesekali mengusap matanya yang memerah.
"Sana, liat gue." Aku memegang kedua pipinya agar menatapku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laksana [END]
Teen FictionWajah datar dan kaku menghiasi hari-hariku selama 2 tahun terakhir. Ini adalah bentuk pertahanan diri, agar orang lain tidak memandangku dengan tatapan kasihan. Aku benci itu. Semua berjalan seperti air mengalir. Hidupku tentram walaupun terlihat mo...