Bagian XXXVI: END

7K 484 34
                                    

Semuanya kembali berjalan normal. Satu persatu rintangan berhasil dilalui. Ujian semester, dan UN berhasil dilalui Sana dengan baik. Sekarang tibalah saat dimana dia harus pergi.

Berbulan-bulan dia hidup dalam kebimbangan. Bagaimanapun aku berusaha untuk meyakinkannya kalau aku akan baik-baik saja, tapi kebimbangan itu hanya hilang sementara. Kemudian datang lagi dan lagi.

Setiap kali kebimbangan itu datang, disitulah terletak tugasku untuk kembali meyakinkannya. Meyakinkan kalau semuanya akan baik-baik saja walaupun ia pergi jauh. Lagian dia tidak pergi selamanya kan? Awas saja kalau iya, maka aku akan menyeretnya pulang.

Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Pesawat yang akan mengantarkan Sana akan take off pukul sepuluh. Dia sudah terlihat siap dengan pakaian yang ia kenakan.

Jaket berwarna maroon dan topi berwarna senada yang bertuliskan huruf N di depannya. Ia terlihat sangat tampan. Aku makin tak bisa berhenti untuk mengagumi ketampanannya.

Mengenai kejadian waktu itu, Gio dan Karin memutuskan untuk pindah sekolah. Entah karena keinginan mereka sendiri ataupun karena keadaan. Aku pun tak tau pasti. Yang jelas aku hanya bisa berharap yang terbaik untuk mereka.

Hanya Bokap Karin dan anak buahnya yang ditahan, pengecualian untuk Gio karena ia dimaafkan oleh Sana. Mengenai Boni, dia sempat terkena pukulan tanda kekesalan dari Sana. Tapi sekarang mereka sudah berbaikan, walaupun tetap tak dekat seperti dulu.

"Na, apa gue batalin aja?" Selama seminggu ini ia selalu menanyakan hal yang sama. Padahal sudah jelas jawabanku, aku tidak setuju kalau dia membatalkan semuanya.

Segala hal sudah disiapkan secara matang. Mulai dari tiket pesawat, tempat tinggal, bahkan pendaftarannya di kampus. Tapi dia masih saja ragu.

"Gue penghalang buat lo ya?" Ini adalah jurus andalanku untuk meyakinkan kelabilan seorang Laksana. Ia menggeleng cepat dan memelukku.

"Lo ikut gue aja ya?" Pintanya untuk kesekian kalinya. "Mengenai semuanya biar gue yang urus, asal lo mau ikut sama gue." Jawabannya masih itu-itu saja. Dia gak kreatif sama sekali.

"Sana, lo sadar gak sih udah berapa kali lo nanyain hal yang sama? Lo udah mau berangkat Sana. Jangan bimbang lagi. Lo cowok apa bukan sih." Kesalku. Ia terdiam.

"Sana, gue tau lo peduli sama gue. Gue juga tau lo sayang sama gue dan gak mau ninggalin gue. Tapi lo harus ingat satu hal, gue akan selalu dukung lo. Apapun pilihan lo, gue dukung. Walaupun kita memang gak bisa bareng lagi untuk sementara waktu, tapi gue janji akan selalu dukung lo. Jadi gue mohon, berhenti bimbang lagi. Hilangkan keraguan itu. Gue akan ikut seneng kalau lo wujudkan apa yang Bunda mau. Gue akan seneng kalau lo bisa wujutin mimpi lo. Gue masih disini, nungguin lo. Gue gak akan kemana-mana sampai lo yang nyuruh gue pergi. Apalagi yang bisa meyakinkan lo kalau gue akan baik-baik aja?" Ini ceramah terpanjang yang aku utarakan sejauh ini.

"Beneran kan, Na? Lo bakal tungguin gue? Lo gak akan kemana-mana kan?" Suaranya terdengar serak. Dia tak menangis kan ya? Kemana Laksana yang selalu mengagung-agungkan kekuatan dari seorang pria? Dasar cengeng.

"Gue janji. Gue gak akan kemana-mana. Asal lo janji kalau lo bakal pulang. Kemanapun lo pergi, lo harus inget kalau gue adalah tempat lo pulang. Kalau lo lupa, gue akan benci sama lo." Suaraku juga sudah mulai berubah. Menandakan kalau kekuatan hatiku sudah mulai goyah.

Sana melepaskan pelukannya dan memegang kedua bahuku. "Na, jangan tiba-tiba menghilang gak ada kabar. Atau gue akan langsung pulang buat nemuin lo." Aku terkekeh pelan dan mengusap sudut mataku yang berair.

"Yang ada lo yang bakal lupa sama gue. Lo bakal punya teman-teman baru disana." Lirihku.

"Gak akan, gue..."

Laksana [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang