Aku duduk menunggu Sana di sofa. Ia sedang mengambil segala sesuatu yang diperlukan untuk dibawa ke rumah sakit, entah apa saja. Aku tak diizinkan membantu karena dia bisa melakukannya sendiri.
Tak lama ia datang sambil membawa tas dan kotak. Aku yang penasaran hendak membuka kotaknya tapi ia menepuk tanganku. Aku memicingkan mata penuh selidik, apa yang sedang disembunyikannya?
Sana kembali naik keatas untuk mengambil kunci mobil. Saat turun dari tangga, ia membawa salah satu jaket kesayangannya dan langsung memakaikannya padaku. Aku yang diperlakukan seperti itu hanya menatapnya heran. Padahal biasanya ia pasti akan melempar jaket itu ke mukaku. Lagian kami akan naik mobil, kenapa harus repot-repot memakai jaket? Itu yang aku tanyakan. Tapi ia hanya diam tak menjawab.
Aku dan Sana masuk ke dalam mobil. Makanan yang aku buat bersama Mama tadi juga sudah aku bawa. Tentunya ada juga hadiah buat Sana yang aku sembunyikan di tas kecil yang aku bawa.
Sana menjalankan mobil dengan kecepatan normal. Sesekali menengok kearahku dan tersenyum. Dia gak gila kan ya?
---
"Nana bolos ya?" Todong Bunda saat aku dan Sana baru saja sampai. "Jangan ngikutin Sana yang pemalas." Lanjut Bunda.
"Sekali ini aja Bunda. Pengen nemenin Bunda soalnya." Aku langsung membuka tupperware berisi makanan yang aku bawa. Sana yang melihat ada nasi goreng langsung berbinar.
Aku menyerahkan bubur pada Bunda yang sedang duduk di ranjang. Sana juga langsung mengambil nasi goreng dan duduk di kursi di samping Bunda. Ia makan dengan lahap.
"Ini buatan Mama ya, Na?" Tanyanya. Aku mengangguk membenarkan. Bunda juga makan dengan lahap. Aku menyukai pemandangan ini.
"Lo gak makan?" Tanya Sana. Aku menggeleng. Aku sudah kenyang saat mencoba cupcake buatanku tadi. Tapi ia tetap memaksa untuk menyuapiku.
Setelah makanan abis, aku kembali membereskan. Sana mengambil kotak yang dibawanya tadi dan membukanya. Pupil mataku langsung membesar ketika melihatnya. Tampak kue berukuran sedang yang dilapisi coklat.
Aku juga membuka tupperware lain yang berisi beberapa cupcake rasa coklat yang aku buat tadi. Kemudian mengambil lilin yang aku simpan di dalam tas.
Bunda turun dari ranjang dan berjalan ke sofa dibantu oleh Sana. Kue dan cupcake tadi sudah tersusun diatas meja kecil di depan sofa. Aku dan Sana duduk di lantai, berhadapan dengan Bunda.
"Ini lilinnya." Aku memasang satu lilin berangka satu di kue yang dibawa Sana dan lilin berangka tujuh di cupcake buatanku, kemudian menyalakannya.
"Make a wish dulu." Ujar Bunda.
Memang dari dulu perayaan ulang tahun aku dan Sana hanya seperti ini. Make a wish dan tiup lilin. Kami paling tidak suka dinyanyikan lagu selamat ulang tahun.
Bunda dan Sana perlahan memejamkan mata dan berdoa. Aku pun mengikuti. Dalam doaku, aku berharap semua doa Sana dan Bunda terwujud. Sudah cukup semua masalah yang terjadi. Kemudian kami serentak meniup lilin.
"Anak Bunda udah gede ya. Bunda cuma bisa berdoa buat Sana." Kata Bunda mengusap kepala Sana.
Kalau ada yang bilang Sana itu terlihat dingin dan menyeramkan, mereka pasti akan langsung mengubah pandangannya ketika melihat Sana di samping Bunda. Tolong digaris bawahi ya, Sana itu manja.
"Bunda mau bikinin kue aja Sana udah seneng." Sana berucap sambil memotong kue coklat dihadapannya. Bukannya dia tidak suka ya? Kenapa malah menyuruh Bunda membuatkan kue ini?
Sana menaruhnya di piring kecil yang ia bawa dan menyerahkannya padaku. Aku mengerutkan dahi bingung.
"Sana gak suka kue ini tapi tetap nyuruh Bunda bikin. Bunda juga gak kuat makan ini, soalnya manis banget. Ternyata dia nyuruh Bunda bikin ini karena kamu suka." Aku melirik Sana. Ia mengangguk membenarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laksana [END]
Fiksi RemajaWajah datar dan kaku menghiasi hari-hariku selama 2 tahun terakhir. Ini adalah bentuk pertahanan diri, agar orang lain tidak memandangku dengan tatapan kasihan. Aku benci itu. Semua berjalan seperti air mengalir. Hidupku tentram walaupun terlihat mo...