Kembali lagi pada hari Rabu yang melelahkan. Kurang dari dua minggu lagi pertandingan basket antara Pembina Bangsa dan Putra Bangsa akan dilaksanakan. Minggu ini akan jadi minggu yang melelahkan kalau aku terpilih jadi tim, karena itensitas latihan ditambah.
Sebenarnya ini bukanlah pertandingan besar, hanya pertandingan persahabatan. Tapi karena dari dulu Pembina Bangsa dan Putra Bangsa selalu menjadi musuh bebuyutan, makanya pertandingan ini menjadi bergengsi.
Tahun lalu pertandingannya diadakan di sebuah gelanggang olahraga, tapi sekarang di Putra Bangsa. Kebetulan disana akan diadakan acara pekan olahraga yang baru tahun ini dilaksanakan untuk pertama kalinya.
Tahun lalu aku tak melihat Sana bertanding, sebab saat aku sampai disana pertandingan putra sudah selesai. Kalau saja... Ah, sepertinya aku harus berhenti menyesali sesuatu yang sudah terjadi. Semuanya sudah terjadi kan? Tidak akan ada yang berubah.
Setelah mengikuti pemanasan yang dipimpin oleh Sana, beberapa orang mulai menyebar untuk pemanasan masing-masing. Hari ini Pak Rama ikut mengawasi, karena akan ada pemilihan pemain inti beserta cadangan yang akan ikut bertanding pada akhir minggu depan.
"Mau minum?" Aku tersentak kaget saat mendengar suara seseorang yang tiba-tiba saja berdiri di belakangku. Dia lagi.
Dia adalah tersangka penyebab bola basket mengenai kepalaku saat hari pertama MOS, namanya Gio. Semenjak dia menghukumku waktu itu, ia jadi terlihat sedikit aneh. Gio jadi sering mendatangiku saat latihan untuk sekedar bertanya hal sepele.
Aku menggeleng sebagai jawaban, kembali memantul-mantulkan bola basket ke lantai. Weli terlihat asik bermain dengan beberapa pria. Mereka sudah akrab rupanya.
"Kok lo gak balas chat gue?" Tanyanya. Ia belum bosan bertanya pertanyaan yang sama. Aku kembali melirik Weli yang sedang menatapku dengan tatapan bertanya.
"Gue jarang pegang hp." Ucapku pelan. Sekilas ia mengangguk pelan.
"Ntar pulang bareng gue mau gak?" Dia masih belum menyerah rupanya. Ini bukan pertama kalinya ia menawarkan tumpangan.
"Gue bareng temen." Tukasku. Tampaknya ini semua harus cepat disudahi. "Gue kesana ya." Pamitku tanpa menunggu persetujuannya. Aku langsung berlari menuju Weli.
Sejujurnya aku agak risih saat didekati olehnya, entah kenapa. Bukan dia saja sih, tapi ketika didekati lelaki. Kecuali orang yang sudah aku kenal secara dekat.
Mata elang dari tadi juga selalu mengawasiku, siapa lagi kalau bukan Laksanaku. Eh, dia bukan milikku ya.
"Dia modusin lo lagi?" Bisik Weli padaku. Aku mengangkat kedua bahu acuh. Sebenarnya tanpa bertanya dia pun sudah tau jawabannya.
"Kak Vino dari tadi juga liatin lo mulu." Weli menyenggol lenganku dengan wajah menggoda. Aku menatap Sana yang sedang duduk di tepi lapangan sambil memutar bola basket di jarinya. Disaat orang lain sibuk pemanasan dia malah malas-malasan.
"Dah tau." Ucapku sewot. Dia tertawa.
"Posesif emang." Posesif sepertinya memang nama belakang Sana. Tapi aku nyaman diperlakukan seperti itu.
"Baiklah, pemanasannya udah cukup ya. Sekarang tanding antar grup cowok. Yang namanya disebut udah pasti lolos jadi tim, nanti diakhir pertandingan saya pilih siapa yang masuk tim utama dan cadangan. Semuanya tergantung kemampuan kalian selama latihan dan pertandingan ini. Grup pertama Kervino, Adi, Bagas, Putra, dan Bani. Grup kedua Gio, Danu, Restu, Fajri, dan Pandu."
Cuma ada satu orang yang berhasil lolos dari kelas satu, yaitu Bani. Dia sekelas dengan Weli. Selebihnya adalah kelas dua dan tiga. Apa karena kelas satu masih tergolong pemula ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Laksana [END]
Teen FictionWajah datar dan kaku menghiasi hari-hariku selama 2 tahun terakhir. Ini adalah bentuk pertahanan diri, agar orang lain tidak memandangku dengan tatapan kasihan. Aku benci itu. Semua berjalan seperti air mengalir. Hidupku tentram walaupun terlihat mo...