Aku membuka mata perlahan dan memperhatikan sekitar. Kelopak mataku mengerjap pelan, menyesuaikan cahaya yang masuk ke mataku. Dimana ini?
Ruangan ini kosong, hanya ada aku dan kursi tempat aku diikat dengan tali. Mulutku bahkan dilakban sehingga aku tak bisa untuk berbicara. Masih zaman ya penculikan memakai cara begini? Tak keren sama sekali.
Sudah berapa lama aku pingsan? Tampaknya sekarang sudah malam. Mengingat aku pulang sekolah saat sore. Atau karena tempat ini yang terlalu gelap karena hanya ada satu lampu yang menerangi?
Inikah rencana Boni? Untuk mengakhiri ini semua atau hanya sekedar menjebakku? Aku bahkan tak bisa membedakannya karena kejadian tadi. Tak bisakah membawaku dengan cara baik-baik? Kenapa harus dibius segala sih?
Tapi saat ini hanya dia yang bisa aku percaya. Kalaupun dia berniat menjebakku, Sana akan datang menolongku.
Bukannya menolong, aku malah menyusahkannya. Semoga saja ini hanya sekedar spekulasiku saja. Aku yakin Boni sudah berubah. Aku yakin Boni memiliki maksud lain.
Bagaimana bisa aku membuat masalah menjadi makin ribet seperti ini? Bukan hanya Sana yang akan khawatir, tapi juga orang tuaku. Apa yang akan aku jelaskan pada mereka nanti? Semoga saja mereka bisa mengerti keadaannya.
Aku berusaha menggerakkan kaki dan badanku. Tidak bisa, karena saking kencangnya ikatan yang membelit badanku ke kursi. Bernafas saja rasanya sesak.
Aku mencoba menggerakkan kursi tapi hanya berhasil membuat gerakan kecil. Aku coba menggerakannya lagi. Brukkk!
Aku jatuh di lantai karena kursinya oleng. Sialan.
Pintu terbuka. Pandanganku sontak menoleh pada seseorang yang baru saja masuk ke ruangan ini. Karin, dia masuk diiringi oleh seseorang berpakaian hitam dibelakangnya.
Laki-laki itu menarik kursi agar kembali berdiri. Tentu saja badanku ikut tertarik.
Sekarang aku dihadapkan pada nenek sihir yang gak bisa sihir. Bisanya hanya mengomel dan menyalahkan orang lain.
"Wajah angkuh lo sekarang berubah jadi ketakutan. Cuma sampai disini ya nyali lo?" Ejeknya. Takut? Tentu saja tidak. Aku tidak diajarkan untuk takut pada manusia. Toh aku diciptakan oleh Tuhan, bukan manusia.
Laki-laki berpakaian hitam itu membuka lakban yang menutup mulutku dengan cepat. Rasanya perih karena kumis tipisku ikut terangkat. Padahal kumis ini adalah pemanis. Daya tarikku berkurang satu.
"Lain kali belajar pahami ekspresi orang." Karin mendekat dan menarik rambutku hingga kepalaku menegadah menatap lampu yang bersinar terang tepat diatasku. Silau.
"Ini balasan karena lo udah rebut Vino." Bisiknya. Aku terkekeh.
Selalu saja bahas hal yang sama. Dia sepertinya cinta mati pada Sana. Gak tau apa ya kalau Sana itu pakai pelet pemikat? Haha, enggak deng.
"Gue gak ngerasa rebut dia dari lo." Sahutku. Dia menarik rambutku semakin kencang. Sakit. Dia iri ya? Karena rambutku lebih bagus dari rambutnya?
"Tapi dia batalin pertunangan seenaknya. Abis itu pamer kemesraan sama lo. Lo kira gue gak tau ya? Cewek murahan." Definisi murahan apa sih sebenarnya? Aku masih polos, gak tau apa-apa.
"Kalau gue murahan, lo apa? Gila?" Karin melepaskan cengkramannya dengan kasar.
Plak!
Satu tamparan mengenai pipi kananku. Aku tak meringis ataupun berteriak kesakitan, aku malah terkekeh. Memang perih rasanya, tapi aku bisa menyembunyikannya.
Dengan begini, ia baru saja membuktikan betapa buruknya dirinya. Menyerang kelemahan orang menandakan bahwa kamu lemah. Kamu hanya iri padanya sampai-sampai dengan teganya menggunakan kelemahan orang lain sebagai senjata untuk menjatuhkannya. Poor you.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laksana [END]
Подростковая литератураWajah datar dan kaku menghiasi hari-hariku selama 2 tahun terakhir. Ini adalah bentuk pertahanan diri, agar orang lain tidak memandangku dengan tatapan kasihan. Aku benci itu. Semua berjalan seperti air mengalir. Hidupku tentram walaupun terlihat mo...