"Lo takut sama gue?" Ucap Karin. Aku menatapnya heran. Maksudnya? Aku takut sama dia?"Karin, jangan mulai deh ya." Cegah Arka. Jadi Karin ini tipe orang yang suka ngajak ribut? Pantas saja.
"Bentar dulu deh, maksudnya takut apaan nih?" Tanyaku tak sabaran. Weli langsung menggeser Fatih dan duduk di sampingku.
"Lo lupa hari kedua MOS? Lo permaluin gue. Lo juga dibangga-banggain sama Pak Rama. Nama lo terdaftar di ekskul basket, tapi lo sama sekali gak pernah ikut latihan. Lo takut sama gue?" Karin menatapku sinis. Lucu sekali dia.
"Gue? Permaluin lo? Lo lupa apa yang udah lo lakuin ke gue? Lucu ya, padahal tersangka tapi ngaku-ngaku jadi korban. Biar apa coba? Dikasihanin? Dan satu lagi ya, emang gue ada daftar basket?" Tanyaku balik. Sejak awal aku memang tak ada daftar basket. Jadi bukan salahku dong?
"Kok nanya gue? Ya jelas ada lah. Nama lo ada terdaftar, tapi lo gak pernah ikut latihan. Apalagi kalau bukan takut?" Karin terkekeh. Sok tau emang. Padahal kenyatannya tak tau apa-apa.
"Gue gak ngerasa pernah daftar tuh." Sahutku enteng. Aku merasakan Weli menarik seragamku. Weli memintaku untuk berhenti dan mundur.
"Lo takut karena gak bisa buktiin kata-kata Pak Rama ya? Udah kebaca." Ocehannya makin tak jelas.
"Karin..." Belum selesai Sana berbicara tapi Karin menghentikannya dengan mengalungkan tangannya pada lengan Sana. Sana langsung melepaskannya.
"Buat apa gue buktiin ke elo? Emang ada untungnya buat gue? Ah, gue ngerti. Lo merasa tersaingi?" Timpalku sambil tersenyum. Pancinganku ternyata berhasil, Karin seketika menatapku marah.
"Gue gak pernah ya merasa tersaingi sama lo. Skill lo itu gak ada apa-apanya dibandingkan gue. Gue ini wakil ketua ekskul basket sekaligus kapten basket putri." Karin tersenyum jumawa. Aku tersenyum sejenak, kemudian menatapnya dengan datar.
"Yaudah, kalo lo ngerasa hebat ya bagus. Ngapain juga ngerasa insecure gitu sama gue. Santai aja kali. Kalo lo gak terima, coret aja nama gue. Simple kan?" Aku langsung bangkit dari dudukku, selesai sudah sampai disini.
"Ternyata lo beneran takut ya." Dia sedang meremehkanku? Yang begini nih gak bisa didiemin. Aku kembali duduk dan menatapnya.
"Mau lo apa sih?" Tanyaku. Aku bosan berbicara muter-muter seperti ini.
"Gue mau lo buktiin skill lo itu, jangan ngomong doang." Ujarnya keras. Beberapa orang mulai melirik kearah meja kami.
"Udah Yan, gue anter ke kelas." Fatih menarik tanganku, tapi aku melepaskannya. Pantang buatku untuk mundur jika sudah ditantang begini. Kalaupun nantinya aku kalah, itu tak masalah. Yang penting aku tak suka mengalah sebelum bertanding.
"Karin, lo doyan nyari masalah ya." Sana langsung berdiri.
"Oke." Selaku. Sana yang awalnya ingin beranjak malah mengurungkan niatnya. Ia menatapku dengan tatapan yang tak terbaca.
"Dua bulan lagi tim basket akan tanding lawan Putra Bangsa. Kalo lo bisa jadi tim utama gue bakal kasih jabatan gue sebagai wakil ketua sama elo." Ucapnya enteng. Sana tersenyum miring. Aku paham maksud senyum itu.
"Lo yakin?" Tanyaku memastikan.
"Yakinlah." Ucapnya mantap. Aku terkekeh geli.
"Sayangnya gue gak tertarik sama jabatan." Ketusku. Jabatan bukanlah sesuatu hal yang penting buatku. Kalau aku memang menginginkan jabatan, mungkin sudah sejak awal aku terobsesi untuk masuk ke suatu organisasi dan menyingkirkan para petinggi disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laksana [END]
Fiksi RemajaWajah datar dan kaku menghiasi hari-hariku selama 2 tahun terakhir. Ini adalah bentuk pertahanan diri, agar orang lain tidak memandangku dengan tatapan kasihan. Aku benci itu. Semua berjalan seperti air mengalir. Hidupku tentram walaupun terlihat mo...