Aku sedang duduk di balkon sambil menyaksikan senja yang sebentar lagi datang menyapa. Ini adalah rutinitasku setiap hari. Hanya dengan menyaksikan senja dapat membuatku bersemangat untuk menjalani hari esok. Senja sangat indah, walaupun hanya sementara tapi aku bisa menikmatinya setiap hari. Namun senja mengajarkanku banyak hal, terutama dalam hal bersyukur. Bersyukur karena setiap harinya aku masih diberikan kesempatan untuk menikmati keindahan senja.
Sana sepertinya belum pulang sampai sekarang. Tadi ia pamit pergi saat kami sedang latihan basket karena ada keperluan. Aku juga tak bertanya lebih lanjut.
Saat pulang tadi sekitar pukul lima sore aku sempat singgah sebentar ke rumahnya, tapi hanya ada Bunda. Kata Bunda, Sana belum pulang sejak berangkat sekolah tadi. Sepertinya ada sesuatu yang penting sehingga ia belum pulang jam segini.
Besok adalah hari ulang tahun Sana. Aku sangat menantikan hal ini sebab aku sudah memesan hadiah khusus untuknya. Dia dari dulu sangat menginginkan barang ini. Semoga saja dia suka hadiah dariku.
Derum motor membuyarkan lamunanku. Terlihat Sana baru saja memarkirkan motor hitam miliknya di garasi. Dia masih memakai seragam basket yang ia kenakan tadi.
Aku bergegas turun hendak menemuinya. Firasatku mengatakan bahwa ada sesuatu yang baru saja terjadi. Semoga saja bukan sesuatu yang buruk.
Kakiku langsung bergerak masuk ke rumah Sana tanpa mengetuk pintu. Sana dan Bunda yang sedang duduk di sofa terkejut melihat kedatanganku. Sana bergegas naik ke kamarnya yang berada di lantai dua. Ia seperti menyembunyikan sesuatu.
Aku berniat menyusulnya keatas, tapi Bunda sudah lebih dulu menahanku dan memberi isyarat menggelengkan kepala. Ada apa?
Mata Bunda terlihat berkaca-kaca dan aku merasa tangannya di lenganku sangat dingin. Benar saja, tak lama air mata Bunda tumpah. Bunda menangis tersedu-sedu. Aku yang tak mengerti hanya berusaha menenangkan dengan mengusap punggung Bunda.
Suara pecahan kaca membuat aku dan Bunda tersentak kaget. Suaranya terdengar dari kamar Sana.
"Bunda aku antar ke kamar aja ya? Biar Bunda bisa istirahat. Inget Bunda gak boleh banyak pikiran. Aku gak mau Bunda kenapa-kenapa." Bunda mengangguk pelan.
Aku menuntun Bunda ke kamar dan memberi Bunda air putih agar merasa sedikit tenang. Bunda terlihat syok. Sepertinya ini masalah serius.
"Nana, tolongin Bunda. Cek keadaan Sana diatas. Bunda gak papa kok. Sana lebih penting sekarang." Suruh Bunda. Aku mengangguk dan segera berlari menuju kamar Sana.
Setelah mengetuk pintu beberapa kali, tidak ada jawaban. Ternyata pintunya tidak dikunci. Aku segera nyelonong masuk tanpa mengucap permisi.
"Sana." Panggilku. Kamarnya terlihat gelap karena ia tidak menghidupkan lampu. Padahal suasana diluar juga sudah mulai gelap.
Setelah menghidupkan lampu, mataku menyapu seluruh kamar. Aku melotot kaget. Kaca lemari miliknya sudah hancur dan berserakan di lantai. Aku melihat bercak darah di lantai itu, pasti itu darahnya.
Langkah kakiku mengarah ke kamar mandi, ternyata kosong. Kemudian aku beranjak menuju balkon. Terlihat siluet seseorang yang duduk membelakangiku. Ia sepertinya tidak menyadari kehadiranku. Aku melihat gumpalan asap yang ia hembuskan ke udara. Tunggu dulu, Sana merokok?
"Apa-apaan lo?" Makiku sambil mengambil alih sebatang rokok yang terselip diantara kedua jari kirinya dan membuangnya. Aku baru sadar kalau ada lebam di wajahnya. Bahkan tangan kanannya masih mengeluarkan darah. Sepertinya ia memukul cermin hingga pecah menggunakan tangannya. "Sana, muka lo kenapa?" Sana mengelak saat aku hendak menyentuh lebam di wajahnya. Ia berdiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laksana [END]
Teen FictionWajah datar dan kaku menghiasi hari-hariku selama 2 tahun terakhir. Ini adalah bentuk pertahanan diri, agar orang lain tidak memandangku dengan tatapan kasihan. Aku benci itu. Semua berjalan seperti air mengalir. Hidupku tentram walaupun terlihat mo...