"Sana!" Bentakku untuk kesekian kalinya. Dari tadi Sana sibuk mencomot bakso yang ada di mangkukku. Kebiasaan nyolong emang.
Saat ini aku dan Sana sedang nongkrong di warung bakso tepi jalan. Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam tapi belum ada satupun yang berniat pulang.
"Pelit amat. Lo pesen porsi gede padahal." Memang iya aku memesan porsi gede, tapi bukan mie nya loh yang banyak. Melainkan baksonya. Sementara Sana memesan porsi biasa dan itu sudah ludes masuk ke perutnya tanpa tersisa. Dia sama sepertiku, rakus kalau bertemu dengan makanan.
"Gue kan doyan." Ucapku sambil melahap baksonya lagi. Bakso memang salah satu makanan favoritku. Makan tiap hari pun, aku tak akan pernah bosan.
"Halah, palingan bentar lagi ngeluh gara-gara berat badan naik." Menurutku wanita lumayan sensitif kalau berhubungan dengan berat badan, termasuk aku. Tapi jarang-jarang bisa ditraktir gini kan? Mumpung gratis, makanya harus dimanfaatkan. Lagian aku tak tau kapan Sana bisa mentraktirku lagi. Siapa tau ini yang terakhir?
"Gak ada cerita tambah sambel ya!" Sana menepuk tanganku yang hendak menyentuh wadah berisi makhluk pedas itu. Bibirku mengerucut sebal. Padahal aku suka sekali memakan makanan yang pedas. "Itu aja udah merah, Na." Aku tak menjawab perkataannya karena mulutku masih sibuk mengunyah.
Sepertinya tempat ini akan menjadi tempat kesukaanku. Walaupun baru pertama kali aku kesini, tapi yang mengajakku adalah Laksana. Tempat ini akan jadi salah satu tempat yang mengingatkanku pada seorang Laksana.
Mataku yang awalnya memperhatikan mangkuk di depanku, beralih menatap Sana. Tatapan kami berserobok. Sana menatapku dengan tatapan meneliti. Sedetik kemudian ia tersenyum.
"Lo kenapa liatin gue kayak gitu?"
"Lo perasaan makin cantik deh." Aku menatapnya penuh selidik. Biasanya kalau ia memujiku pasti ujung-ujungnya ingin minta sesuatu. Firasatku tak enak.
"Gak mempan."
"Gue muji juga!" Tumben.
"Mau apa lo?" Pancingku. Wajahnya langsung berubah menjadi kesal.
"Gue sebenernya mau ngajak lo ke pasar malam, tapi kita udah lama gak ngobrol. Gimana dong?" Ucapannya membuatku terenyuh. Pemilihan kata-katanya memang bagus sampai membuat nada jutekku menghilang. Laksana memang punya banyak jurus maut yang membuatku tak berkutik.
"Bantuin gue ngabisin ini. Abis itu kita ke tempat biasa buat ngobrol, gimana?" Tawarku. Kini senyum lebar terpatri di wajah tampannya. Senyum yang dipastikan bisa membuat wanita bertekuk lutut pada pesonanya.
"Tempat biasa? Maksudnya tempat itu ya?" Aku mengangguk membenarkan.
---
"Jadi mau ngomongin apa?" Todongku to the point. Aku memang tak pintar berbasa-basi.
Aku dan Sana baru saja sampai di rooftop kantor milik Papaku. Untung saja kantor ini dijaga 24 jam oleh satpam, jadinya aku selalu bebas keluar masuk kesini.
Dulu saat aku dan Sana punya masalah, kami sering melarikan diri kesini. Kadang hanya untuk duduk diam dan bermenung menyaksikan keindahan senja yang mengajarkan kita bahwa sesuatu yang indah itu tidak akan bertahan selamanya.
Bercerita memang membuat kita lega, tapi diam sambil menghirup udara sebentar akan terasa nikmat untuk meredam emosi yang tertanam. Gak semua hal bisa kita bagi dengan orang lain, kadang hanya butuh waktu untuk diri sendiri agar bisa menerima dan memahami apa yang terjadi. Karena mayoritas orang hanya ingin tau, bukan benar-benar peduli.
Aku dan Sana sangat suka disini. Jauh dari hiruk pikuk keramaian kota yang tidak ada habisnya membuat jiwa setidaknya sedikit tenang. Kafe memang seru buat nongkrong, tapi terlalu ramai. Kami jadi tak bebas melakukan apapun yang kami mau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laksana [END]
Fiksi RemajaWajah datar dan kaku menghiasi hari-hariku selama 2 tahun terakhir. Ini adalah bentuk pertahanan diri, agar orang lain tidak memandangku dengan tatapan kasihan. Aku benci itu. Semua berjalan seperti air mengalir. Hidupku tentram walaupun terlihat mo...