Bagian XXVIII: Night with Laksana

2.8K 386 2
                                    

"Lo ngerusak suasana tau gak." Hardiknya sambil memukul jidatku. Ya Tuhan, jidatku tak salah apa-apa.

"Sakit." Rengekku. Dia kalau memukul tidak tanggung-tanggung. Tenaganya ikut serta. Tampaknya dia memiliki dendam kesumat denganku.

"Lo sih." Ia mengusap-usap jidatku. Tadi mukul, sekarang malah ngusap-ngusap. Maunya apa sih? "Kalau hujan nanti gue bangunin. Kita pindah ke dalam." Aku mengangguk. Walaupun hujan-hujanan juga seru, tapi kalau sudah malam seperti ini yang ada aku bakal masuk angin. Kalau sakit nanti gak ada yang bisa menemani Sana.

"Mudah-mudahan gak hujan. Gue pengen tidur disini sampai pagi." Melihat matahari terbit di ufuk timur juga akan sangat menyenangkan.

Aku merapatkan selimut yang menutupi tubuhku. Dinginnya malam mulai terasa karena semakin larut.

"Gue juga." Sahutnya.

Kami berdua kembali terdiam. Masing-masing sibuk dengan pemikiran sendiri. Aku dengan pikiranku sendiri, Sana dengan pikirannya. Mungkin masing-masing dari kami sedang mencari bahan obrolan.

Hari ini adalah hari yang berat, berat bagi Sana. Tapi dia menghadapinya dengan hebat. Aku salut padanya.

"Gue tadi baca buku harian Bunda." Ucapnya pelan. Aku melirik Sana yang tidur terlentang. Dari samping terlihat jelas kalau hidungnya sangat mancung.

"Dari dulu Bunda suka banget nulis buku harian. Bunda suka nulis apa saja yang diinginkan. Dengan keadaan Bunda, Bunda takut gak sempat melakukan sesuatu. Bunda pernah berpesan kalau seandainya Bunda gak ada, catatan itu baru boleh gue baca." Ia menghela nafas pelan. Ia sedang berusaha menggali keping-keping ingatannya tentang Bunda. Memang berat, tapi kepingan ini sangat berarti baginya.

"Ada beberapa hal yang belum terwujud, dan tugas gue adalah mewujudkannya. Satu hal yang baru aja gue lakuin adalah berusaha untuk ikhlas kalau seandainya Bunda udah gak ada. Bunda gak mau gue sedih berlarut-larut. Bunda mau gue bahagia. Makanya gue berusaha untuk kuat sekarang. Berharap Bunda akan tersenyum liat gue." Aku mengusap kepalanya. Dia hebat, sangat hebat. Laksanaku hebat.

Bunda pasti sedang melihat kami sekarang, dari tempat yang sangat jauh. Bunda pasti sedang tersenyum senang melihat Sana.

"Keinginan Bunda yang lain apa?" Ia melirikku sekilas, kemudian tersenyum.

"Gue akan kasih tau disaat yang tepat." Aku mengangguk paham. Aku yakin ia bisa mewujudkan semua keinginan Bunda. Ia tak akan mengecewakan Bunda.

"Bunda juga pernah berpesan supaya gue jagain lo, gue akan berusaha wujutin itu." Sahutku.

Momen terakhir saat bersama Bunda selalu teringat olehku. Percakapan terakhir kami selalu menggema di telingaku. Aku berjanji pada diriku sendiri kalau aku akan menjaga Sana. Walaupun aku tau dia lebih kuat dariku, tapi aku juga tau suatu saat akan ada masa dimana dia sedang terpuruk. Kuharap akulah yang berada disana.

Mungkin aku tak bisa membantunya berlari. Tapi aku akan sediakan pundakku tempat dia bersandar saat merasa lelah. Aku akan menyediakan telingaku, tempat mendengar keluh kesahnya. Aku akan menyediakan tanganku untuk ia genggam, yang akan membantunya lebih kuat. Aku akan sediakan kakiku untuk membantunya berjalan saat ia sedang lemah. Dan aku akan menggunakan bibirku untuk berdoa pada Tuhan agar ia lebih kuat untuk berdiri, melangkah, dan berlari.

"Gue yang akan jagain lo!" Aku mendelik tak suka. Ia masih saja memperdebatkan hal yang sama. Iyain aja kenapa sih, biar aku senang.

"Apa kita akan terus bersama sampai tua?" Celutukku. Semakin dekat dengan Sana, semakin besar pula ketakutan dalam diriku. Takut kalau seandainya takdir kami berbeda.

Bagaimanapun akan ada masa dimana kami akan berpisah. Tapi aku yakin penyebab utamanya bukan karena kami bertengkar tapi karena keadaan. Mungkin saja karena ingin mewujudkan mimpi masing-masing. Atau mungkin karena ingin menjalani takdir masing-masing. Apapun itu, aku harap hatiku siap untuk menerima setiap kemungkinan yang bisa saja terjadi.

"Segitu sayangnya sama gue ya? Sampai-sampai gak mau ninggalin gue?" Salah satu penyebabnya sih iya. Dia terlalu berarti sampai aku enggan untuk jauh darinya. Apa jadinya aku kalau tak ada Sana? Apa akan sama dengan kejadian dua tahun lalu?

"Gue gak mau lo sendirian. Gue pengen nemenin lo terus. Apa bisa?" Ia mengangguk yakin. Apakah ini namanya mendahului takdir?

"Gue gak berencana punya dua istri kok." Aku mengeryit bingung. Perasaan aku tidak membahas istri.

"Apa hubungannya?" Tanyaku heran. Dia tidak kesambet kan? Baru mau dapat KTP tapi sudah membahas istri.

"Ada lah, istri gue nanti cuma lo aja. Supaya cuma lo bisa nemenin gue terus." Wah, dia menakjubkan.

"Pikiran lo kejauhan Laksana." Teriakku. Kenapa gak bayangin punya anak atau punya cucu aja sekalian? Kalau sampai punya istri doang mah nanggung. Menghayal itu jangan setengah-setengah dong.

"Lo emang maunya gue poligami gitu?" Dia kira poligami itu gampang ya?

"Awas aja kalau poligami. Gue talak tiga langsung." Ancamku.

"Makanya waktu pelajaran agama lo jangan tidur. Mana ada cewek yang ngucapin talak, bego!" Aku berusaha menahan senyumku. Aku juga tau kalau talak itu diucapkan suami. Walaupun gak pinter-pinter amat tapi aku gak pernah ya tidur saat pelajaran agama. Pelajaran lain juga gak pernah sih. Bukannya gak mau tidur, tapi gak berani tidur. Gak lucu kan kalau tiba-tiba aku diusir keluar?

"Lo bilang apa barusan?" Badanku langsung tegak dan mataku menatapnya tajam.

"Gue..." Ia menegakkan badan. "...bilang..." Jarinya menyentuh jidatku. "...elo bego." Ia menoyor jidatku.

"Lo!" Aku hendak memukulnya, tapi ia malah menggenggam kepalan tanganku. Sementara tangannya yang lain memelukku.

"Tidurnya sambil kek gini aja ya, Na. Lebih nyaman." Ia menaruh kepalanya di pundakku. Tangannya yang menggenggamku sekarang juga ikut memelukku. Ia menggeliat sebentar sambil mencari tempat ternyaman.

Sana sedang butuh sandaran, itulah yang aku pahami dari situasi ini. Ia enggan mengatakannya langsung karena egonya akan terluka. Bagaimanapun ia selalu berusaha terlihat kuat. Cowok gak boleh lemah, itu yang selalu ia ucapkan.

"Padahal gue pengen banget mukul lo." Keluhku. Ia makin mengeratkan pelukannya. Tanganku terangkat untuk mengusap-usap punggungnya. Bukan hanya butuh sandaran, tapi dia juga butuh dikuatkan.

"Jangan sekarang ya. Katanya lo sayang sama gue." Nadanya berubah menjadi manja. Beginilah Sana yang sebenarnya.

"Emang gue pernah bilang gitu?"

"Jangan pura-pura gak tau deh. Gue masih inget lo bilang gitu di rumah sakit. Waktu Bunda dirawat." Aku tersenyum.

Tentu saja aku mengingat momen itu, belum terlalu lama. Momen saat kami mulai jujur pada perasaan masing-masing dan membuat suatu ikatan yang melewati level persahabatan.

"Iyain aja biar cepet." Decakan kesal keluar dari mulutnya.

"Lo gak serius mau tidur dalam posisi kek gini kan? Yang ada besok pagi kita berdua pegel-pegel loh." Posisinya nyaman, tapi kalau semalaman seperti ini aku tidak bisa jamin kalau tubuhku tidak akan merasa kebas.

"Sebentar aja, Na. Gue lagi isi baterai." Kalau mau isi baterai harus ada colokan dan sumber listriknya. Dia gak realistis sama sekali.

"Gue jadi colokannya?" Ucapku tak terima.

"Lo jadi sumber energinya." Dia manis kan? Pacar siapa sih ini? Bukan pacarku loh ya, tapi dia punyaku.

"Cepet tidur. Dah malam. Besok kalau lo bangun duluan, bangunin gue ya. Takutnya gue kebablasan tidur sampai siang." Ia melepaskan pelukannya dan menepuk kepalaku. Aku mengangguk.

Aku kembali merebahkan badan, begitupun dengan Sana. Tangannya mulai mengusap rambutku agar aku cepat tidur.

Kuharap malam ini ia akan tidur nyenyak, dan semoga esok hari ia memiliki semangat baru dalam menjalani hari. Semoga saja.

"Selamat tidur, Laksana." Gumamku.

"Mimpi indah, Diana." Bisiknya.

***

Laksana [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang