Bagian II: Who is he?

7.5K 837 12
                                    

Hari ini adalah hari kedua MOS. Seperti biasa, aku ke sekolah naik angkot bersama Weli. Tenang saja, dia sudah kuberi hukuman kemarin. Kalian tau apa hukumannya? Cukup mudah, yaitu traktir bakso dua mangkok setelah pulang sekolah. Ah, aku terdengar murahan sekali kan?

Aku bukan tipe orang yang suka marah lama. Dibujuk dengan makanan saja sudah langsung luluh.

Sesampai di kelas, aku langsung duduk di bangku paling belakang. Teman sebangkuku bernama Nada, cewek dengan poni depan beserta kaca mata tebal yang menjadi pembantu penglihatannya. Yang aku tau, minus matanya sudah lebih dari 3. Parah.

Aku juga salah satu pengguna kaca mata minus. Ini sudah resikoku sebagai penggemar novel. Walaupun cuma minus setengah, tapi tetap saja penglihatanku tidak seperti orang normal lainnya. Tapi kacamata hanya aku gunakan saat belajar.

Bel berbunyi. Aku segera duduk di bangku. Sepertinya aku sudah menyerah nyari masalah saat MOS. Kapok.

Kemarin sebenarnya belum seberapa sih. Tapi tetap saja aku tak mau dipermalukan seperti kemarin. Pipiku memerah untuk pertama kalinya dan aku gak mau lagi. Keliatan banget kan jomblo abadinya?

Sejujurnya kemarin itu bukan pertama kalinya aku digoda seperti itu. Tapi entah kenapa pipiku bisa memerah karena tersipu. Padahal biasanya biasa aja, malah cenderung cuek saat digoda. Aneh kan ya?

Dua orang anggota OSIS masuk ke dalam kelas. Sesuai pengalaman kemarin, aku dibimbing oleh si cowok songong dan Kak Farah. Jangan tanya siapa nama si cowok songong, karena aku tak tau dan tak mau tau. Sedangkan nama senior perempuan itu aku tau dari Weli. Katanya dulu Kak Farah itu satu SMP denganku. Untung ingatan Weli lebih bagus dariku.

"Baiklah, hari ini kita akan latihan yel-yel yang udah disiapin kemarin." Kata Kak Farah setelah berbasa-basi sebentar. 

Aku hanya diam, tidak mengiyakan ataupun menolak. Walaupun sebenarnya penolakan itu tak akan berarti apa-apa. Aku tak mengiyakan karena aku bukan bagian inti dari yel-yel ini. Tentunya saja karena suaraku yang cempreng saat bernyanyi. 

Seni memang menjadi salah satu kelemahanku. Terutama berkaitan dengan menyanyi dan menggambar. Kalau urusan menari dan bermain alat musik, aku lumayan bisa. Asalkan ada yang mengajarkan.

Bosan. Satu kata yang menjelaskan suasana saat ini. Teman-temanku bernyanyi dengan semangat, tapi tidak denganku. Ini sama sekali tidak menyenangkan.

"Kak, izin ke toilet dong!" Izinku spontan mengacungkan tangan. Kali ini pasti tak akan ditolak.

"Silahkan." Sahut Kak Farah. Yes! Seandainya aku tau kalau semudah ini meminta izin keluar, maka sudah aku lakukan dari tadi.

Aku bergegas menghirup udara kebebasan. Terdengar lebay memang, tapi begitulah aku. Kadang beberapa hal yang menyenangkan menurut orang lain belum tentu menyenangkan buat kita kan?

Langkah kakiku mengarah menuju toilet yang terletak di samping mushala. Mushala ini terletak tepat di samping lapangan basket dan voli yang terletak bersebelahan. Jadi dari kelasku ke toilet lumayan dekat. Padahal maunya lebih lama di luar.

Aku meniup poniku tanda lelah. Setelah sempat membasuh wajah sebentar, aku duduk di tepi lapangan. Tampak beberapa siswi perempuan sedang bermain basket. Entah kelas berapa.

Andai saja mereka mengajakku untuk berolahraga, bukan hanya kumpul di kelas dan bernyanyi. Pasti aku akan sangat bersemangat.

Setelah cukup lama di lapangan, aku memutuskan untuk kembali ke kelas. Baru beberapa langkah berjalan, kepalaku kembali terkena sesuatu yang keras. Bola basket lagi kah?

Aku meringis memegangi kepalaku yang terasa sangat nyeri. Dua hari berturut-turut aku terkena benda yang sama. Ini bukan kebetulan yang menyenangkan.

Laksana [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang