Bagian XXXIV: Aku, Sana, dan Si Pengganggu

3.6K 398 12
                                    

Dor!

Terdengar suara tembakan. Aku tak bisa merasakan apapun selain tubuhku yang terasa membeku.

"Sana? Lo baik-baik aja?" Sana tersenyum dan mengangguk. Aku memutar badannya, tak ada luka sedikitpun. Jadi suara pistol tadi darimana?

Aku menatap Bokap Karin yang berteriak kesakitan di lantai. Pistol di tangannya sudah terlepas. Lengan kanannya yang tadinya memegang pistol sekarang mengeluarkan darah.

"Tangkap dia, Pak." Aku menoleh kearah sumber suara, ada Ayah disana. Ayah kesini juga?

Seorang polisi masih menodongkan pistol kearah Bokap Karin. Sementara yang lainnya mulai membantunya berdiri dan membawanya keluar. Sepertinya pistol yang berbunyi tadi bukan ulah Bokap Karin, tapi polisi tadi. Aku menghela nafas lega.

Aku kira Sana akan terluka lagi. Tapi ternyata polisi datang tepat waktu dan berhasil melumpuhkan Bokap Karin yang ingin melawan.

"Kamu gak papa?" Ayah mendekat kearahku dan memperhatikan leherku yang berdarah. Ia meminta seseorang untuk mendekat dan mengambilkan kotak P3K. Ayah mengambil perban dari dalamnya dan menutup luka di leherku.

"Pegang terus ya Na, biar darahnya berhenti." Aku mengangguk paham. Tak satupun kata terucap dari bibirku. Aku terlalu kaget karena kehadiran Ayah.

"Sana, bawa Diana ke rumah sakit sekarang!" Perintah Ayah kemudian. Sana pun tak kalah kaget dibandingkan aku. Tapi ia langsung berusaha menyembunyikan ekspresi kagetnya. Mungkin dia juga tak tau kalau Ayah datang.

Ayah menatap aku dan Sana bergantian. Kemudian tersenyum lalu mengelus kepalaku dan Sana.

"Maaf karena Ayah sudah melibatkan kalian berdua di masalah yang seharusnya Ayah tangani. Setelah ini Ayah pastikan gak ada seorang pun yang bakal ganggu kalian." Aku tersenyum. Ayah sudah kembali.

Kemudian Ayah beranjak hendak pergi. Aku menatap Sana sekilas sebelum kembali menatap punggung Ayah yang mulai menjauh.

"Ayah." Panggilku. Langkah Ayah terhenti saat hendak keluar. Ayah berbalik. "Makasih, Yah." Ayah mengangguk dan tersenyum.

"Makasih, Yah." Sana membeo. Ayah tertegun sebentar, lalu tersenyum semakin lebar. Matanya bahkan berkaca-kaca.

Ayah kembali mendekat dan menepuk bahu Sana sebelum pergi. Beginikah cara Tuhan memperbaiki hubungan Sana dan Ayah?

Ikatan ayah dan anak memang sampai kapanpun tak akan terpisahkan. Walaupun kadang timbul kekecewaan dari seorang ayah terhadap anaknya ataupun sebaliknya, tapi tetap saja ikatan mereka tak akan pernah putus.

"Mobil udah disiapin. Diana harus segera ke rumah sakit." Arka menginterupsi. Aku mulai melangkah keluar dengan perlahan.

"Gue bisa jalan sendiri." Tolakku saat Sana hendak menggendongku. Tapi memang dasarnya sifat keras kepala, itu tak bisa aku lawan. Ia tetap bersikeras untuk menggendongku.

Diluar ruangan, aku melihat beberapa orang yang menunduk dengan posisi kedua tangan diatas kepala. Semuanya anak buah Bokap Karin. Termasuk Gio, dia juga ada disana. Aku sempat menatapnya sejenak sebelum kembali memfokuskan mataku pada Sana yang tengah menggendongku.

Ku harap Gio akan sadar setelah ini. Aku harap dia akan memusnahkan dendam yang ia ciptakan sendiri. Aku yakin dia sebenarnya adalah orang baik, hanya saja ia terjerumus oleh hasutan Bokap Karin.

Sana bergegas membawaku keluar. Ternyata aku disekap di gedung yang tidak terpakai, terlihat jelas dari bentuknya. Dibeberapa bagian dindingnya bahkan ada rumput liar dan lumut yang menempel. Aku ditempatkan di lantai dua.

Laksana [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang