Aku tersadar saat mendengar suara beberapa orang yang sedang berbicara. Mataku rasanya masih sangat mengantuk, tapi bosan juga tidur mulu dari tadi. Aku bahkan belum makan apa-apa sejak disekap kemarin.
Saat sampai di rumah sakit, sudah ada Mama dan Papa yang menungguku. Mama langsung menangis dan memelukku. Aku jadi merasa sangat bersalah karena membuat Mama dan Papa khawatir. Tapi aku berusaha menyakinkan kedua orang tuaku kalau aku baik-baik saja.
Setelah diperiksa dan diobati, aku langsung tidur karena badanku rasanya sangat lemas. Efek tidur tak nyenyak, makan pun tak dapat nih kayaknya.
Aku melirik Kak Dirga dan Kakakku sedang duduk di sofa bersama Bang Dira dan Bang Juna. Ada Weli, Jojo, dan Fatih yang duduk di sofa satunya lagi. Sementara Arka duduk di bangku terpisah. Sejak kapan mereka datang? Kenapa aku tak mendengar apapun tadi? Aku tidur apa mati sih?
Jojo mendekat saat melihat aku sudah bangun. Ia menatapku dengan wajah khawatir.
"Lo gak papa, Kak? Butuh sesuatu?" Aku menggeleng pelan. Dia perhatian kan ya? Kalau belum ada Sana, mungkin aku akan jatuh cinta pada sosok Jojo. Walau brondong, tak masalah. Setidaknya ia juga memiliki sisi dewasa yang jarang ia tunjukkan.
Bang Juna, Bang Dira, Weli, dan Fatih juga ikut mendekat. Ekspresi mereka hampir sama dengan Jojo tadi, khawatir. Senang ya rasanya memiliki teman-teman yang peduli pada kita?
"Yan, lo bikin gue khawatir tau gak. Tiba-tiba aja ilang, eh pas udah ketemu lo nya musti dirawat." Weli menggenggam tanganku erat.
"Lo gak nangis waktu gue ilang kan?" Candaku. Fatih spontan terkekeh. Eh? Seriusan dia nangis?
"Kalau itu mah gak usah ditanya. Dia mewek abis tau gak." Lengannya langsung mendapat pukulan dari Weli. Weli memang cengeng.
Pernah dulu aku pergi keluar kota dengan Papa dan Mama tanpa sepengetahuannya. Dia mengira aku pindah rumah. Sampai-sampai dia menelfonku dan mengirimi sms berkali-kali.
Saat aku pulang, dia langsung menangis. Katanya dia tak mau kehilangan temannya karena dia gak punya banyak teman.
"Lo udah baikan?" Tanya Bang Dira. Ia terlihat lebih dewasa dengan jambang yang dipeliharanya.
"Gue udah baik-baik aja, Bang." Sahutku. Aku kembali teringat pada Sana. Sejak mengantarku ke rumah sakit tadi, batang hidungnya tak pernah terlihat lagi. Kemana dia? Dia tak menghilang lagi kan?
"Arka." Panggilku. Arka yang sedang asik berbincang dengan Kak Dirga langsung berdiri dan mendekat. "Sana mana?" Ia memutar bola matanya, seperti sedang memikirkan sesuatu. Dia mau nyari alasan yang tepat ya?
"Bentar lagi dia balik kok." Ini sudah sore. Apa yang dia kerjakan sampai-sampai dia tak mau menemaniku disini? Apa ada sesuatu lagi yang terjadi? Masalahnya belum usai kah?
"Siniin hp lo." Arka terlihat gugup. "Arka." Ulangku lagi. Ia segera mengambil hpnya dan menyerahkan padaku.
Sana terdaftar di kontak teratas di hp miliknya. Aku segera menekan tombol untuk menelfon. Setelah beberapa lama, suara nada sambung terdengar.
"Arka, ada yang penting? Nana kenapa?" Sahutnya diseberang.
"Sana, lo gak kabur lagi kan?"
"Eh, kok hp Arka di elo?" Suaranya terdengar gelagapan. Ada yang dia sembunyikan ya?
"Lo gak kabur kan?" Ulangku lagi.
"Na, nanti gue hubungin lagi ya." Dia menghindar.
"Kalau lo kabur lagi, jangan harap gue bakal maafin lo. Gue pastiin lo gak bakal bisa ketemu gue lagi." Aku menutup telefon itu dan menyerahkannya pada Arka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laksana [END]
Teen FictionWajah datar dan kaku menghiasi hari-hariku selama 2 tahun terakhir. Ini adalah bentuk pertahanan diri, agar orang lain tidak memandangku dengan tatapan kasihan. Aku benci itu. Semua berjalan seperti air mengalir. Hidupku tentram walaupun terlihat mo...