"Diem aja terus. Kalo gini caranya biar gue yang pindah sekolah!" Ucapku akhirnya.
"Gue gak akan biarin lo pindah sekolah." Sana turun dari ranjang dan menatapku tajam. Rahangnya mengeras.
"Lo gak berhak ngatur gue." Ia menahan lenganku saat ingin beranjak pergi. Genggamannya di lenganku sangat kuat.
"Gue mau lo tetap di samping gue gimanapun keadaannya. Gue gak akan biarin lo jauh-jauh dari gue. Gue tau kalo gue ini egois. Tapi biarin gue egois kali ini aja." Dadanya naik turun menahan marah. "Gue bisa kelarin semuanya, percaya sama gue." Ia berusaha berucap dengan pelan, aku tau dia sedang berusaha meredam emosinya.
"Sejak kapan gue gak percaya sama lo?" Aku menatapnya lekat. Sana diam menunggu kelanjutan perkataanku. "Dari dulu gue gak pernah gak percaya sama lo Sana. Tapi sekarang semuanya udah beda. Gue gak mau lagi bergantung sama lo, seperti dulu. Ini bukan hanya tentang lo, tapi gue. Gue penyebab ini semua dan gue yang harus tanggung jawab, bukan lo. Lo pikir gue bisa liat lo kek gini hah?" Kenapa dadaku rasanya sesak? Rasanya hampir sama dengan yang aku rasakan dua tahun lalu.
Aku kesal pada diriku sediri karena tak bisa berbuat apapun. Aku marah melihat Sana yang terluka karenaku. Aku sedih melihat wajahnya yang kacau. Aku benci kalau membiarkannya terluka.
"Vino, kamu di dalam?" Teriak seseorang yang baru saja membuka pintu. Aku dan Sana tersentak kaget. Sepertinya itu suara Karin.
Aku jadi bertanya-tanya tentang banyak hal. Apa yang sebenarnya ada difikiran Sana? Bukankah dia sudah punya Karin yang bisa menemaninya? Kenapa dia rela melakukan apapun demi aku yang hanya seorang sahabat?
"Gue udah bilang Vino gak ada disini. Lo napa gangguin dia terus sih?" Ucap seseorang lainnya. Itu Arka.
"Sana." Bisikku.
Sana menarikku ke dalam pelukannya. Aku merasa sangat mungil jika dibandingkan dengannya. Kepalaku bahkan tidak melewati bahunya. Telingaku menempel di dadanya, sehingga aku bisa mendengar detak jantungnya.
"Gue mau liat dia doang. Gue yakin dia disini." Suara Karin kembali terdengar.
"Ini bukan salah lo, tapi ini murni keinginan gue, sama seperti dua tahun yang lalu. " Gumam Sana. Emosinya sudah reda.
Aku hanya bisa terdiam kaku di pelukannya. Wanginya masih sama. Kehangatan itu masih terasa. Tapi aku tak bisa selalu bersama Sana lagi, seperti dulu. Hanya itu yang berubah.
"Jangan lakuin apapun. Cukup tunggu gue. Gue mohon." Sana semakin mengeratkan pelukannya padaku seakan tak ingin melepasnya.
Kenapa aku jadi merasa bersalah seperti ini? Sana telah melakukan banyak hal, bahkan sampai mengorbankan nyawanya hanya untuk menyelamatkanku. Tapi apa aku bisa hanya diam menyaksikan semuanya sementara jiwaku memberontak tak terima? Aku ingin membantunya.
Kemudian Sana melepas pelukannya dan menuntunku ke ranjang tempat aku tidur tadi. Ia memberi isyarat agar aku duduk di ranjang, aku hanya mengikutinya tanpa protes.
Saat Sana ingin berbalik, aku menarik ujung seragam miliknya. Aku tak ingin dia pergi. Aku mau ia tetap bersamaku. Apa aku tak boleh egois kali ini? Hanya kali ini.
"Percaya sama gue. Gue baik-baik aja." Bisiknya sambil mengusap rambutku. Penglihatanku mulai terhalangi oleh kabut pekat di mataku.
Aku melepaskan tarikanku pada ujung seragam Sana. Sana mengangguk tanda pamit, kemudian menarik tirai yang aku buka tadi dengan pelan agar tidak berisik. Sebelum wajahnya tertutup oleh tirai, aku melihatnya tersenyum. Wajahnya masih tetap berusaha menyakinkanku.
Setelah tirai itu benar-benar tertutup, air mataku jatuh seketika. Apa aku terdengar egois karena ingin menjauhinya? Sejujurnya ini bertentangan dengan inginku, tapi aku tak tega melihatnya seperti ini. Apa yang harus aku lakukan? Kalaupun aku bisa bareng Sana lagi, semuanya bakal tetap berubah kan? Sana sudah punya pacar sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laksana [END]
Teen FictionWajah datar dan kaku menghiasi hari-hariku selama 2 tahun terakhir. Ini adalah bentuk pertahanan diri, agar orang lain tidak memandangku dengan tatapan kasihan. Aku benci itu. Semua berjalan seperti air mengalir. Hidupku tentram walaupun terlihat mo...