Bagian XXX: Kebenaran?

2.9K 391 3
                                    

Sudah lebih dari seminggu Sana menghilang tapi tak kunjung ada kabar. Oma adalah yang paling murka. Oma bahkan menyuruh para bawahannya untuk mencari Sana sampai ketemu. Mereka dilarang kembali sebelum menemukan Sana.

Mereka sudah menyisir berbagai tempat, tapi belum menunjukkan hasil. Bahkan tanda-tandanya pun tidak ada. Sana berhasil menghapus semua jejaknya agar tidak ada yang mengetahui keberadaannya.

Aku kembali pada rutinitasku di sekolah. Belajar dan belajar. Memang kepikiran tentang Sana, tapi tak ada yang bisa aku lakukan. Dia sepertinya masih butuh waktu untuk sendiri.

Hampir setiap hari aku ke makam Bunda, berharap ada Sana disana. Tapi semuanya hanya tinggal harapan. Harapan itu tak pernah terwujud.

Saat ini sedang jam istirahat. Aku duduk di taman belakang sekolah sambil menikmati udara segar. Fatih dan Weli tadi sempat mengajakku ke kantin tapi aku menolak.

Taman belakang lumayan ramai saat jam istirahat seperti ini. Bangku-bangku terisi penuh. Bahkan ada yang duduk santai di atas rumput.

Udara disini terasa sangat segar karena banyak tumbuhan yang ditanam. Pohon-pohon yang tumbuh lebat dan rindang, menutupiku dari panasnya sinar matahari yang menyengat kulitku.

Bunga bermekaran dengan sangat indah. Kupu-kupu dan kumbang berebut hendak menghisap nektar. Pemandangan yang sangat menyejukkan mata.

Kalau ada Sana, pasti aku tidak akan sendirian disini. Ia pasti dengan senang hati akan menemaniku sambil bercanda, seperti kebiasaan kami.

Bahkan mungkin saja ia akan memaksaku untuk makan di kantin bersamanya. Kalau aku menolak, ia akan membelikanku makanan dan membawanya kesini. Sifatnya memang pantang menyerah.

"Mana Vino?" Teriak seseorang yang tiba-tiba saja sudah berada di depanku. Wajah songong itu tak berubah.

"Gue gak tau." Jawabku. Ia berdecih.

"Jangan pura-pura gak tau. Lo tau kan Vino dimana?" Ia menarik kerah seragam yang aku gunakan. Aku menghela nafas lelah.

"Gue gak tau. Lo budeg apa gimana sih?" Teriakku.

"Lo bohong. Lo pasti sembunyiin Vino dari gue kan? Gak cukup lo rebut Vino dari gue?" Makinya. Manusia sotoy memang gak ada obatnya.

"Gue? Rebut Vino dari lo? Baru kenal kemarin sore aja udah belagu. Mending pergi deh. Gue lagi gak mood ribut." Aku melepaskan cengkramannya pada kerahku dengan kasar. Ia masih menatapku dengan tajam.

Gak bosan apa ya menatap orang dengan tatapan seperti itu? Aku yang melihatnya saja muak.

"Lo lupa perjanjian kita? Gue udah minta lo untuk berhenti ngurusin hidup orang kan? Vino bukan siapa-siapa lo. Jadi berhenti ngurusin dia."

"Gue begini karena gue peduli sama dia." Ucapnya tak terima.

"Kalau lo peduli sama dia, cari dia sampai ketemu. Kenapa malah nanya gue? Buktiin kalau lo emang peduli. Bukannya malah nyari masalah sama gue." Ia mendelik tak suka sebelum akhirnya beranjak dari pandanganku.

Suasana yang menenangkan berubah menjadi menyebalkan karena kedatangannya. Dia merusak mood yang sudah susah payah aku bangun.

"Belum seberapa tapi dia udah nyerah. Cemen." Sial. Siapa lagi ini yang menggangguku? "Bilangin sama Vino, ini belum seberapa. Gue akan balas yang lebih menyakitkan." Aku berbalik, menatap seseorang yang berdiri di belakang bangku tempat aku duduk. Ternyata Gio.

Karin dan Gio, sama-sama pengganggu. Bertingkah seenaknya tanpa memikirkan orang lain.

"Kenapa bukan lo sendiri yang bilang ke dia? Saking takutnya berhadapan sama dia sampai-sampai lo nitip pesan sama gue? Beraninya di belakang doang. Lo lebih cemen loh." Aku melipat kedua tanganku di dada.

Laksana [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang