Bagian XVII: Pletak!

3.1K 440 11
                                    

"Fatih, gak perlu status buat bikin semuanya jelas. Cukup bilang apa yang mau lo bilang, lakuin apa yang mau lo lakuin. Bikin dia bahagia supaya lo juga bisa bahagia. Kayak gue." Hah? Gimana gimana?

"Lo teori doang bisanya, praktek kagak." Ejek Fatih. Sana memang ahli kalo soal membual. Mulutnya itu loh, manis banget kalau ngomong. Lebih manis dari gula.

"Lo sama btw." Selaku. Fatih tersenyum masam. Poor you.

"Ayo ke UKS, biar kaki lo bisa dipijit." Ajak Sana. Kenapa dia? Bukankah saat di sekolah Sana masih diawasi? Kenapa tiba-tiba begini? "Atau mau gue gendong?" Eh?

"Gak, gue bisa jalan kok." Sahutku gelagapan. Sana kenapa sih? Mau membuatku malu ya? Ini kenapa sebenarnya? Apa yang baru saja aku lewatkan?

Ekspresi Sana berbeda dengan sebelumnya, terlihat bahagia. Bahkan sangat bahagia. Apa yang baru saja terjadi? Apa yang tidak aku ketahui?

"Sana, lo kenapa?" Tanyaku seperti berbisik, mataku masih sesekali melihat cctv yang berada tepat mengarah ke lapangan. 

"Rahasia." Sana tersenyum semakin lebar, seperti orang gila yang suka tertawa di pinggir jalan.

"Emang gak papa kita kek gini?" Tanyaku lagi.

"Emang kenapa kalo kek gini?" Aku mengerang kesal. Dia ngomong apa sih? Dia kenapa sih?

"Liat arah jam tiga." Ucapku. Sana menoleh sebentar lalu kembali menatapku. Kerutan jelas terlihat di dahinya. Sepertinya ia tak paham maksud perkataanku. Kadang otaknya memang sedikit lemot. "Cctv loh." Lanjutku. Sana tergelak. Aduh, bulu kudukku sepertinya berdiri.

"Lo kesambet ya?" Tebakku. Ia menggeleng pelan.

"Emang ada orang kesambet yang tau kalo dia lagi kesambet?" Ah, benar juga ya. Tak mungkin orang yang kesambet pamer kalau dia sedang kesambet. Aduh, sekarang malah otakku yang mendadak lemot.

"Yuk ke UKS, biar kaki lo bisa dipijit Mbak Wini." Sana berjalan mendekat tapi aku memberi isyarat untuk berhenti. 

"Gue gak mau ada masalah, biar Weli aja yang bantu gue." Tolakku. Aku kira dia akan mengangguk setuju, tapi ia malah menggeleng.

Arka menarik Fatih dan Weli agar menjauh. Sepertinya ia mendapat perintah melalui tatapan mata Sana. Fatih mengepalkan tangannya seakan memberi semangat, sementara Weli masih terdiam. Mungkin ia masih mencerna ucapanku tadi.

"Arka, bantuin jalan dong." Teriakku. Arka berbalik.

"Arka, lo mendekat satu langkah aja gue patahin kaki lo." Ancam Sana. Aku menyeringai senang. Ekspresi Sana terlihat lucu.

"Cemburu bilang bos." Sembur Arka. Sana menatapnya tajam, sambil memberi isyarat mengiris leher dengan jarinya. Jurusnya hanya mengancam.

"Fatih, lo gak mau bantuin gue juga?"

"Lo mau gue bantu jalan ke UKS atau gue gendong? Pilihannya gue doang." Dasar pemaksa.

"Weli...." Rengekku.

"Gue gak ikut-ikutan deh. Urusin urusan rumah tangga lo sendiri. Gue gak mau jadi orang ketiga." Sahutnya. Aku berdecak kesal. Mereka benar-benar pergi tanpa berniat membantuku.

"Oke berarti lo mau digendong."

"Stop! Lo bantu gue jalan. Tapi beneran gak papa kan? Gak bakal terjadi sesuatu kan?" Ia tersenyum dan mengangguk meyakinkan.

"Buat apa sih mikirin apa yang terjadi besok? Hari ini gue baru sadar semuanya. Gue cuma mau mikirin hari ini, hari esok itu urusan esok. Yang jelas saat ini gue mau sama lo, itu aja." Jelasnya. Pikiran yang sederhana, tidak sepertiku yang terlalu rumit.

Laksana [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang