'Nanti pulang sekolah tunggu gue deket halte. Jangan pulang duluan.'
Itu adalah pesan Kak Dirga yang baru aku baca saat kelas sudah bubar. Karena sekarang adalah hari Sabtu, aku pulang lebih cepat yaitu jam satu.
Sudah beberapa hari ini aku mencari staf yang bekerja di bagian keamanan, namun hasilnya nihil. Kabarnya ia izin tak masuk karena sedang ada keperluan lain. Tapi entah kenapa aku makin yakin kalau dia benar orangnya.
Saat sampai di halte, terlihat sebuah mobil terparkir di dekat sana. Kak Dirga membuka sedikit kaca depan dan menyuruhku masuk. Pantas saja aku tak mengenali mobil ini. Sebab mobil yang dipakainya hari ini bukan seperti mobil yang biasa ia gunakan.
Katanya ia ingin mengajakku ke kafe untuk menemaninya bertemu seseorang. Entah siapa. Aku hanya nurut karena ini bukan pertama kalinya. Biasanya aku, Kak Dirga dan Kak Devy sering pergi bertiga hanya untuk nongkrong di kafe. Kak Dirga sering memperkenalkanku dengan teman-temannya agar aku tidak merasa kesepian. Tapi tetap saja aku tak akrab dengan siapapun.
Mobil miliknya berhenti disebuah kafe yang letaknya cukup jauh dari sekolahku. Kafenya terlihat sepi karena tidak berada di jalan raya. Ia mulai memperhatikan sekitar, kemudian memberikan isyarat agar aku turun.
Kak Dirga menarik tanganku agar cepat mengikutinya. Aku sedikit heran dengan tingkah Kak Dirga. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan.
Kafe ini sangat lengang. Dekornya pun bukan khas anak muda. Hanya ada satu pengunjung yang sedang duduk membelakangiku sekarang dengan menggunakan jaket kulit hitam beserta topi.
"Mau berangkat sekarang?" Tanya Kak Dirga saat kami baru saja sampai di depan orang itu. Bukan hanya topi, tapi ia juga memakai masker hitam yang menutupi sebagian wajahnya. Tatapan matanya terlihat tidak asing.
"Iya, nih kunci motor gue." Ucapnya sambil menyerahkan sebuah kunci. Kak Dirga juga menyerahkan kunci padanya. Suara Sana kan?
"Buruan gih!" Suruh Kak Dirga. Aku menatap Kak Dirga dengan tatapan bertanya. Maksudnya apa nih? "Jangan kebanyakan mikir. Buruan! Inget ya jangan berantem. Kalo masih berantem, gue ogah bantuin lagi." Ia mengacak-acak rambutku.
Sana menarik tanganku agar segera mengikutinya. Aku menatap Kak Dirga yang tersenyum melihatku dan Sana. Dia pahlawanku hari ini.
--
"Panas." Ucap Sana sambil melepas maskernya saat baru saja memasuki mobil. Untung mobil ini kacanya gelap, jadi kalau dari luar gak bakal keliatan.
"Kok bisa?" Tanyaku heran. Setauku kalau tidak sekolah, pengawal Oma selalu mengikuti pergerakan Sana. Kenapa sekarang ia bisa lolos?
"Apa sih yang gak bisa gue lakuin." Katanya enteng. Sana menghidupkan mobil dan menjalankannya. Sana terlihat tampan memakai setelan serba hitam seperti ini. Eh, bukannya dia memang tampan ya?
"Gue tau kok kalo gue ganteng." Tuhkan, pedenya kambuh. Padahal aku belum memujinya.
"Pengawal Oma kemana emang? Kok lo bisa kabur? Eh tadi gak sekolah ya?" Sana tertawa mendengar pertanyaan beruntun yang aku ajukan.
"Gue libur, tadi ke Bandung ke tempat Oma. Pengawal Oma lagi ada kerjaan lain. Makanya gue bisa nemuin lo. Walaupun tetep kucing-kucingan sih." Sahutnya terkekeh. Kalau ada yang bilang Sana itu dingin dan kaku, mungkin mereka akan kaget melihat Sana seperti ini.
Mobil yang dikendarainya berhenti disebuah kafe. Aku ingat kafe ini, tempat aku biasanya sering nongkrong berdua dengannya. Apakah kami akan bernostalgia?
"Kita jangan dibawah ya. Gue pesen tempat privasi diatas. Lo masuk duluan, nanti gue nyusul. Bilang aja atas nama Vino." Aku mengangguk paham dan bergegas keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laksana [END]
Teen FictionWajah datar dan kaku menghiasi hari-hariku selama 2 tahun terakhir. Ini adalah bentuk pertahanan diri, agar orang lain tidak memandangku dengan tatapan kasihan. Aku benci itu. Semua berjalan seperti air mengalir. Hidupku tentram walaupun terlihat mo...