Bagian XXVI: Selamat Jalan

2.8K 396 11
                                    

Perjalanan yang aku tempuh terasa sangat panjang dari biasanya. Apalagi jarak rumah sakit yang lumayan jauh dari Putra Bangsa. Cuaca yang semula cerah berubah menjadi mendung. Suara petir menggelegar juga sudah mulai terdengar. Tapi hujan masih enggan untuk turun.

Setelah mendengar kabar Bunda dibawa ke rumah sakit, aku langsung menyetop taksi di depan sekolah. Weli berteriak memanggil tak aku hiraukan. Daritadi hpku selalu berdering, tapi aku tak berniat memeriksanya. Biarkan saja. Ada yang lebih penting sekarang.

Sepanjang perjalanan pikiranku mengumpulkan berbagai macam kemungkinan yang bisa saja terjadi. Bunda syok bukanlah pertanda yang baik karena jantung Bunda lemah.

Dulu saat kecelakaan Sana, Bunda adalah orang yang terakhir tau karena kalau menyampaikan sesuatu pada Bunda harus benar berhati-hati. Tapi bagaimana bisa kejadian ini langsung diketahui Bunda? Aku yakin bukan Arka yang memberi tahu. Karena sudah pasti dia tau tentang keadaan Bunda.

Suasana rumah sakit sangat ramai. Orang-orang di UGD tidak berhenti berlalu-lalang. Aku berkeliling mencari keberadaan Arka.

Mataku tertuju pada Sana yang terduduk di lantai dengan bersandar pada dinding rumah sakit. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena ia menunduk. Ternyata dia sampai lebih dulu. Aku kira ia masih diobati di rumah sakit yang berada di dekat Putra Bangsa.

Perlahan aku mendekat kearahnya sambil memperhatikan sekeliling. Arka tidak kelihatan, kemana dia? Apa sudah ada kabar tentang Bunda?

"Sana." Panggilku. Aku duduk di depannya. Sana tak bergeming sedikitpun. Setetes darah jatuh dari keningnya. Aku yang melihat hal itu langsung menegakkan kepalanya. Keningnya masih berdarah dan tidak tertutup perban.

"Lo belum diobatin? Ini masih luka. Nanti bisa infeksi." Sana tetap tak bergeming. Wajahnya benar-benar kaku. Ia bahkan tak berkedip. Apa yang terjadi?

Aku meletakkan punggung tanganku di keningnya, dingin. Bahkan sangat dingin.

"Sana, kita minta suster buat ngobatin lo ya?" Tawarku. Ia masih saja diam.

Aku kembali memperhatikan sekitar. Tak ada tanda-tanda keberadaan Arka maupun bodyguard Sana. Kemana sih mereka?

Perlahan ekspresi Sana mulai berubah. Ia yang awalnya kaku tanpa ekspresi sekarang mulai terlihat marah. Mata dan wajahnya memerah.

Sana langsung berdiri dan hendak pergi, tapi aku menahannya. Ada apa dengannya?

"Lo mau kemana?" Tanyaku. Ia menghempaskan genggamanku dengan kasar dan berjalan cepat.

Tiba-tiba saja Arka berlari kearahnya dan menahannya. Ia sempat memberontak tapi dengan bantuan beberapa bodyguard, Arka berhasil menahannya. Semuanya makin membingungkan.

"Sana, jangan sekarang. Gue tau lo marah, gue tau lo emosi, tapi jangan sekarang Sana. Pikirin Bunda. Bunda harus segera dibawa pulang." Pulang? Apa itu artinya Bunda baik-baik saja? "Oma sedang dalam perjalanan, administrasi sudah gue urus. Kita bawa Bunda pulang." Lanjutnya lagi.

Sana masih memberontak. Arka mengacak rambutnya gusar. Ia terlihat frustasi menghadapi Sana. Bukankah kepulangan Bunda adalah hal yang bagus? Tapi kenapa Sana seperti itu?

"Lo harus ikhlas Sana. Supaya Bunda bisa tenang. Bunda harus segera dimakamkan." Aku yang berjalan mendekat kearah mereka sontak berhenti. Jantungku berdetak cepat. Arka salah ngomong kan? Aku hanya salah dengar kan? Harus ikhlas, bawa Bunda pulang untuk dimakamkan. Arka mulai ngawur. Ini tidak mungkin.

"Arka, apa maksud ucapan lo? Kalau ngomong yang jelas." Aku kembali mendekat kearah mereka dan menatap Arka dengan kedua bola mataku yang rasanya mulai memanas.

Laksana [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang