Hari ini adalah pertandingan basket antara Pembina Bangsa dengan Putra Bangsa. Kami yang baru saja masuk ke lingkungan Putra Bangsa disambut oleh teriakan yang meriah. Pak Rama berada di garis depan diikuti oleh beberapa orang yang bertugas sebagai tim medis.
Acara ini seperti festival, dan kami menjadi peserta arak-arakan yang ditonton oleh ribuan orang. Tak kusangka acaranya akan semeriah ini. Sambutannya pun hangat, padahal kami datang kesini untuk bertanding. Hawanya menjadi sangat bersahabat. Inikah makna sesungguhnya dari pertandingan persahabatan?
Barisan selanjutnya adalah tim basket putra dan putri yang memakai jersey serba merah dengan corak putih pada nomor punggung dan nama pemain beserta nama sekolah yang tertulis besar di bagian dada. Sana memakai jersey bernomor punggung 93, sementara aku memakai nomor punggung 16.
Sekolah Putra Bangsa memang terlihat mewah dibandingkan dengan Pembina Bangsa. Gedung bertingkat empat yang membentuk huruf u. Tapi lahan sekolah Pembina Bangsa lebih luas dimana gedungnya disusun berderet empat kebelakang dengan gedung terakhir yang bertingkat dua.
Lapangan Putra Bangsa hanya ditengah, digunakan untuk tempat upacara bendera sekaligus tempat olahraga. Sementara Pembina Bangsa memiliki lapangan dengan fungsinya masing-masing. Sepertinya aku harus berhenti membandingkan. Keduanya memang memiliki keunikan tersendiri.
Para siswa Putra Bangsa tidak hanya berdiri di lapangan, tapi juga di tepi pembatas gedung sehingga kalau ingin melihatnya kita harus menegadahkan kepala. Membayangkannya saja sudah ngeri. Sebab aku tak terlalu suka ketinggian. Kalau aku jadi mereka, aku lebih memilih untuk berdiri panas-panasan di tepi lapangan daripada harus melihat dari ketinggian.
Kami disambut oleh OSIS dan beberapa guru yang juga mengenakan pakaian olahraga. Setelah bersalaman dan basa-basi sebentar, acara ini mulai dibuka.
Tim putra mulai pemanasan di lapangan, karena mereka yang akan tampil pertama. Sementara tim putri hanya ikut pemanasan singkat di tepi lapangan karena pertandingan kami dilakukan setelah kelompok putra. Formula tim yang akan bertanding sesuai dengan yang disiapkan oleh Pak Rama beberapa hari lalu.
Yang menarik perhatian dari tadi adalah teriakan nama Gio dan Kervino terdengar jelas oleh telingaku. Ternyata mereka juga dikenal disini, bukan hanya di Pembina Bangsa.
Kak Dirga juga terlihat di tim putra Putra Bangsa. Sementara Kakakku dengan almamater kebesaran OSIS miliknya sibuk mengontrol acara. Disaat aku menghindari kesibukan tapi dia malah mencari kesibukan, sangat melelahkan.
Kalau diingat-ingat, kejadian dua hari lalu saat Sana berulang tahun masih memenuhi pikiranku. Pria yang melempar bom molotov itu sampai sekarang belum mau mengaku. Bahkan Sana mengancam untuk melaporkannya ke polisi, tapi ia masih enggan untuk buka mulut. Sepertinya ada yang sudah membuat mulutnya terbungkam. Pertanyaannya adalah siapa?
Flashback on
Sana berlari cepat. Arka yang bersorak memanggil tidak ia hiraukan. Aku mengerutkan dahi bingung. Sebenarnya aku cuma bertanya, tapi kenapa ekspresi Sana terlihat kaget? Belum tentu juga spekulasiku benar kan? Pikiranku emang kadang terlalu susah untuk dikontrol.
Aku berlari menyusul Sana. Diikuti oleh Arka tepat di belakangku. Sudah malam tapi kami masih lari-larian. Bentar lagi pasti perutku menjadi lapar lagi.
"Bunda gak ada." Ucap Sana saat aku baru saja masuk ke rumahnya. Wajahnya terlihat khawatir.
"Bik Minah?" Tanyaku. Ia juga menggeleng. Apa benar kejadian tadi itu hanya untuk pengalihan?
"Bunda..." Arka kembali menarik nafasnya. Ia payah dalam urusan berlari. Padahal suka main voli. Apa karena voli tidak banyak lari ya? Aku menepuk pelan kepalaku. Seharusnya bukan hal ini yang aku pikirkan. Ada yang lebih penting.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laksana [END]
Teen FictionWajah datar dan kaku menghiasi hari-hariku selama 2 tahun terakhir. Ini adalah bentuk pertahanan diri, agar orang lain tidak memandangku dengan tatapan kasihan. Aku benci itu. Semua berjalan seperti air mengalir. Hidupku tentram walaupun terlihat mo...