Sudah lama sekali kak Dirga tidak pernah lagi mampir ke rumahku. Biasanya dia sering mampir sambil menjemput atau mengantar Kakakku, tapi sekarang tidak. Kabarnya ia sedang sibuk dengan kegiatan ekskul. Aku ingin bertanya bagaimana ia bisa mengenal Sana. Entah kenapa aku jadi penasaran akan hal itu.
Sebenarnya aku baru mengenal Kak Dirga secara dekat hampir dua tahun ini, setelah hampir tiga tahun ia resmi berpacaran dengan Kakakku. Sebelumnya aku tak mengenalnya. Itupun karena jiwa seorang 'kakak' yang dimilikinya makanya ia gampang akrab denganku. Padahal pertama kali aku bertemu dengannya, aku menatapnya datar. Tapi ia tidak merasa terintimidasi sedikitpun.
Kak Dirga termasuk orang yang susah ditebak. Makanya aku penasaran dengannya. Kakakku yang ditanya hanya menggeleng tak mau memberitahu tentang kedekatan Kak Dirga dengan Sana. Tapi aku yakin pasti ada sesuatu yang disembunyikan.
Tak mungkin kan Kak Dirga tiba-tiba saja mengenal Sana lalu Sana menceritakan tentangku? Itu terdengar mustahil. Apalagi mereka berasal dari sekolah yang berbeda.
Yang aku tau orang tua Kak Dirga tinggal di Bandung. Ia tinggal disini sendiri setelah neneknya meninggal dunia setahun yang lalu.
Satu hal yang juga sangat ingin aku tanyakan adalah tentang Karin. Apa Kak Dirga juga tau tentang Karin? Kenapa rasa penasaranku datang setelah mendengar berita Karin dan Sana akan tunangan ya? Gak mungkin kalo aku cemburu kan?
Pengen menelfon rasanya tidak enak. Menurutku ini bukanlah sesuatu yang patut aku pertanyakan melalui telfon. Lagian pasti jawabannya tidak akan memuaskanku.
Sebulan ini aku sudah ikut latihan basket. Beberapa orang awalnya sempat melihatku dengan tatapan yang aneh, mungkin karena setelah sekian lama aku baru bergabung.
Ternyata laki-laki dan perempuan tetap berlatih di lapangan yang sama pada hari Rabu. Yang menjadi pembeda adalah ditambahkannya agenda latihan setiap Jumat khusus untuk cewek dan Sabtu khusus untuk cowok. Pak Rama juga tidak hadir saat latihan hari Rabu, ia hanya hadir saat Jumat. Untungnya Weli juga ikut basket sama sepertiku, setidaknya ada yang bisa aku ajak mengobrol.
Setiap hari Rabu, Sana juga hanya sebentar datang ke lapangan, setelah itu ia entah kemana. Sedangkan Karin and friends kerjanya hanya memerintah. Aku paling benci senioritas seperti ini. Beda dengan latihan para cowok yang terlihat seru, latihan yang dilakukan cewek malah membosankan akibat kalimat perintah para senior terus menggema di telingaku.
Tapi ada satu hal yang menarik perhatianku. Berkat Weli, aku jadi mengingat seorang senior perempuan yang terlihat ramah saat Weli mendaftar ekskul basket di hari ketiga MOS. Ia memang baik, sesuai dengan kesan pertama waktu itu. Namanya Nisa. Disaat senior lain sibuk 'menggurui' para junior, ia justru menganggap junior sebagai teman. Hal inilah yang sangat aku suka.
Sebenarnya aku juga sudah terdaftar disalah satu ekskul, yaitu karya ilmiah. Tapi berhubung tidak banyak pertemuan jadinya aku bisa ikut basket, sesuai dengan tantangan Karin waktu itu.
Tau apa hukuman yang disiapkan untukku? Memungut bola sehabis latihan dan menyimpannya di ruangan olahraga. Itupun bukan Sana yang memberikan hukumannya, tapi salah satu temannya yang tentu saja aku tidak tau namanya. Tapi aku ingat perbuatannya padaku, sama seperti yang dilakukan Karin waktu itu. Bedanya, ia melakukannya pada hari pertama MOS.
Tidak susah sih sebenarnya, kalau bolanya hanya satu. Tapi jumlah bola yang aku pungut bisa lebih dari 10 buah. Apalagi hari Rabu, jumlahnya bisa lebih dari dua kali lipat. Tentunya aku tidak bisa mengangkat bola sebanyak itu. Dengan bantuan jaring besar, aku cukup menarik bola itu menuju ruang olahraga yang terletak tidak jauh dari mushala.
Ternyata ada beberapa senior cowok yang mengenalku karena dulu mereka adalah kakak kelasku saat SMP. Mereka sepertinya teman-teman Sana dulu. Tapi seperti biasa aku tidak ingat nama mereka, walaupun dulu pernah mengobrol sesekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laksana [END]
Fiksi RemajaWajah datar dan kaku menghiasi hari-hariku selama 2 tahun terakhir. Ini adalah bentuk pertahanan diri, agar orang lain tidak memandangku dengan tatapan kasihan. Aku benci itu. Semua berjalan seperti air mengalir. Hidupku tentram walaupun terlihat mo...