Beberapa tahun kemudian.
"Mbak, ada yang pesan 40 box coklat set valentine yang isi 20." Wina, seorang karyawanku datang menginterupsi kegiatanku yang sedang asik dengan adonan di depanku. Set valentine di bulan Juni?
"Telat banget mesennya." Heranku. Aku mulai mencetak adonan itu dibantu oleh asistenku di dapur, Fala. Bukan asisten resmi sih, tapi aku senang saja berbagi pendapat dengannya. Apalagi perihal mencoba resep baru, seleranya hampir sama denganku.
"Gak tau juga Mbak. Orangnya minta lusa. Gimana, Mbak?" Lusa tak ada pesanan sih sebenarnya. Apalagi kalau set valentine, hanya perlu dicetak dan didinginkan sebentar. Walaupun pesanannya lumayan banyak, tapi tak akan menghabiskan waktu yang lama.
"Jam?"
"Jam 8 malam, Mbak." Rejeki jangan disia-siakan dong. Apalagi kalau buat malam hari.
"Oke, ambil!" Wina menganggukkan kepalanya dan keluar dari dapur.
Empat tahun berkuliah di jurusan manajemen dan satu tahun ikut kursus membuat kue serta hidangan serba coklat, membuatku terinspirasi untuk membuat toko ini. Toko dengan hidangan khusus coklat, makanan favoritku. Ada cake, pie, cookies, truffles, dan chocolate bar dengan berbagai campuran rasa.
Beberapa bulan lalu Kakakku, Kak Devy resmi melepas masa lajangnya, dipinang oleh laki-laki yang selama ini selalu berada disisinya. Siapa lagi kalau bukan Kak Dirga.
Tamat SMA, untungnya mereka memilih tempat kuliah yang sama yaitu di kota kelahiran Kak Dirga sehingga mereka tak terpisahkan. Setelah lulus, Kak Dirga mulai melanjutkan usaha milik Ayahnya dan Kakakku ikut bekerja dengannya.
Fatih dan Weli juga sudah merencanakan pernikahan mereka dua bulan lagi. Walaupun sempat ldr-an, tapi hubungan mereka masih tak berubah. Aku turut bahagia mendengar kabar itu.
Sedangkan hidupku hanya begini-begini saja. Setelah kuliah bukannya bekerja di sebuah perusahaan, aku memilih untuk kursus. Bisa membangun toko ini adalah keajaiban untukku. Itupun modal awalnya dibantu oleh Papa. Untungnya beberapa bulan setelah dibuka, aku bisa mengembalikan uang tersebut.
Di toko ini, ada chef utama yang bekerja yaitu Mas Dana. Dia adalah guru kursusku yang aku ajak bekerja disini. Walaupun tidak full, tapi Mas Dana membantu banyak. Apalagi Mas Dana juga mengajarkan karyawanku yang lainnya sehingga mereka jadi bisa membuat apapun tanpa Mas Dana. Mas Dana hanya akan kesini disaat ada pesanan yang banyak. Selebihnya ia tetap mengajar kursus karena muridnya lumayan banyak.
Di dapur ada tiga orang yang bekerja. Fala, Nada dan Radi. Sementara di depan juga ada tiga karyawan yang melayani pembeli serta satu orang yang bertugas sebagi kasir sekaligus mengatur pemesanan, yaitu Wina.
Mereka semua adalah lulusan SMA. Aku cukup bersyukur karena mereka cepat mengerti apa yang aku ajarkan.
"Aneh rasanya." Ucapku saat mengunyah cookies buatan aku dan Fala yang baru saja matang. Hari ini aku coba membuat rasa baru yang belum ada sebelumnya, tentunya masih rasa coklatnya.
Fala ikut mencoba, lalu mengeryitkan dahinya. "Padahal manisnya pas, tapi memang agak aneh rasanya, Mbak." Celutuknya. Tak papa sih, lagian baru pertama bikin. Adonan yang aku buat untungnya gak banyak juga.
"Mbak, pesanan yang tadi itu masa disuruh anter ke cafe ujung jalan yang belum diresmiin itu Mbak." Wina kembali datang dan mulai percakapan. Cafe ujung jalan?
"Jangan-jangan karena mau diresmiin, makanya dia mesan." Nada ikut bersuara. Sepertinya pekerjaan Nada dan Radi sudah selesai karena mereka mulai beberes.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laksana [END]
Teen FictionWajah datar dan kaku menghiasi hari-hariku selama 2 tahun terakhir. Ini adalah bentuk pertahanan diri, agar orang lain tidak memandangku dengan tatapan kasihan. Aku benci itu. Semua berjalan seperti air mengalir. Hidupku tentram walaupun terlihat mo...