Bagian XXXII: Kalah Saing

2.9K 399 25
                                    

Aku terbangun saat mendengar ayam berkokok. Seumur-umur baru kali ini aku mendengar ayam berkokok saat subuh. Soalnya di dekat rumahku tak ada yang pelihara ayam. Jadi begini ya suaranya?

Ah, atau aku tak pernah dengar kokok ayam karena bangunnya sering kesiangan? Sepertinya fakta ini lebih benar.

Apa aku dibawa ke pedesaan? Atau ke tempat yang jauh dari pusat kota? Aku hanya bisa menduga-duga, tapi tak bisa menebaknya.

Haus dan lapar. Mereka benar-benar menyiksaku karena mengurungku tanpa memberikan makanan. Tahanan di penjara saja diberi makanan, tapi aku yang berstatus sebagai tawanan tidak diberi makanan sedikitpun. Mereka memang sengaja ingin aku mati ya?

Aku bahkan tak bisa tidur nyenyak dalam keadaan seperti ini. Tidur dalam keadaan duduk memang nikmat kalau di sofa empuk, tapi kalau di kursi kayu dengan keadaan diikat gak ada enak-enaknya. Baru sebentar tidur, kemudian terbangun. Memejamkan mata lagi, lalu kembali terjaga. Selalu saja seperti itu sampai rasanya aku muak.

Hari ini adalah hari yang baru. Semoga saja hal yang baik terjadi. Semoga aku cepat bebas dari tempat yang menyesakkan ini.

Tapi bagaimana kalau aku gagal memancing Bokapnya Karin untuk berbicara jujur? Kalaupun aku berhasil memancingnya, maka apa selanjutnya?

Tiba-tiba datang pahlawan kepagian yang menolongku? Apa itu mungkin?

Aku menggerakkan leherku yang terasa kaku. Panas, gerah, capek, dan letih. Semuanya bercampur menjadi satu.

Tapi aku yakin kalau aku masih bisa bertahan sampai bantuan datang menolongku. Entah itu Oma ataupun Sana. Aku cuma bisa berharap pada keduanya melalui Boni.

Bagaimana keadaan Sana sekarang? Dia sudah makan kah? Bagaimana istirahatnya? Apakah cukup?

Semoga saja dia tetap baik-baik saja. Sesudah kejadian ini, aku harap tak akan ada lagi kejadian buruk yang terjadi. Terlepas dari bagaimana hal ini akan berakhir, tapi aku harap berakhir dengan cara yang baik agar kedepannya juga banyak hal baik yang terjadi. Yang salah akan dihukum, yang benar akan menang.

Aku kembali memejamkan mata, berharap waktu semakin cepat berlalu. Perutku rasanya sudah sangat lapar.

Tapi sepertinya tak lama aku tertidur, suara diluar membuat mataku kembali terbuka. Beberapa orang baru saja datang, terdengar jelas dari langkah kaki mereka. Apa itu Bokapnya Karin?

Pintu terbuka dengan kasar. Aku menatap beberapa orang berpakaian hitam masuk kedalam ruangan. Tak lama, dua orang juga ikut bergabung. Yang satunya Boni. Sementara yang satu lagi adalah orang yang aku curigai turut andil dalam insiden yang menimpa Sana saat pertandingan basket. Siapa lagi kalau bukan Gio.

Jadi Gio bekerja sama dengan Bokapnya Karin juga? Pantas saja rencananya berjalan mulus dan ia tak ketahuan. Ternyata ada yang membantunya. Ah, mungkin saja dia yang membantu Bokap Karin untuk mencelakakan Laksana. Bukan begitu? Keduanya bisa saja terjadi kan?

Gio menatapku lekat. Aku menatapnya tak kalah tajam. Apa yang membuat dia dendam pada Sana? Kenapa mau melakukan semua ini?

"Andai aja lo jauh-jauh dari Vino, mungkin lo gak bakal kayak gini." Gio berusaha menyentuh pipiku, tapi aku menjauhkan kepalaku darinya. Aku tak sudi disentuh oleh tangan kotor miliknya.

"Ini bukan salah Vino, tapi salah lo." Jawabku. "Lo lucu ya. Menusuk dari belakang tapi pura-pura dari depan biar gak keliatan pengecut. Tapi gue bisa liat dengan jelas kalau lo itu sangat sangat pengecut." Makiku lantang.

Saat di sekolah mereka seperti berteman. Walaupun tak terlalu dekat, tapi ia tak pernah terlihat terang-terangan membenci Sana. Ia pintar sekali berpura-pura. Tipe manusia bermuka dua. Ah, atau mungkin lebih dari dua?

Laksana [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang