Bagian IV: Teman?

5.2K 629 19
                                    

Hari MOS ketiga tidak berakhir sampai disitu. Sesudah zuhur kami diminta untuk berkumpul lagi di lapangan. Ini adalah acara puncak. Perkelas, kami diminta untuk menampilkan yel-yel yang telah disiapkan. Tentunya aku hanya mengambil sedikit peran, ini tidak akan menghabiskan banyak tenaga. 

Semua kelas telah tampil, yaitu terdiri dari Sembilan kelas, lima jurusan ipa dan empat jurusan ips. Tidak sepertiku, Weli terlihat lebih bersemangat saat menampilkan yel-yel. Dia selalu begitu, orang yang penuh dengan keceriaan dibalik beratnya kehidupannya. Hanya aku yang tau seperti apa kehidupan Weli yang sebenarnya. Ia sangat senang bersembunyi dibalik topeng itu.

Weli adalah anak tunggal. Papa dan Mamanya berpisah saat ia duduk di bangku sekolah menengah pertama. Saat itu juga dimana aku pertama kali mengenalnya. Kala itu, aku melihatnya sedang duduk di bawah pohon di halaman belakang sekolah, tempat kesukaanku juga.

Flashback on

Aku melihat seseorang duduk sambil menutup wajahnya dengan kedua lutut. Bahunya berguncang. Aku tau ia sedang menangis. Aku perlahan duduk tak jauh darinya sambil sesekali mendengar dia bergumam.

"Masa iya ketemu cewek dikit langsung melek. Mama kurang apa coba." Katanya terkekeh disela tangisnya.

"Cantik juga kagak, sok cantik iya. Mentang-mentang banyak duit langsung kicep liat yang lebih muda. Haduh bokap gue bikin malu banget sih." Aku tersenyum tipis.

"Kalo masih gadis gak papa. Ini janda beranak tiga. Eh, bukan berarti gak papa sih, kan selingkuh itu gak boleh. Cewek gak tau diri emang. Gangguin laki orang doang bisanya. Ntar kalo udah bosen bakal ditinggal juga. Bokap gue gak sadar apa ya dimanfaatin?" Dia masih terisak, berusaha meredam tangisnya.

"Haduh ngapain gue nangis sih. Gak bakal ada yang berubah juga." Katanya menegakkan kepala dan mengusap pipinya yang basah.

Aku menatap sekeliling seakan-akan aku tidak melihatnya. 'Nanti dia kegeeran.' Begitu pikirku.

"Sejak kapan lo disini?" Teriaknya kaget. Aku spontan menutup telingaku.

"Toa banget sih lo." Kesalku.

"Hehe maaf maaf. Abisnya lo ngagetin gue sih. Lo ngapain disini?" Tanyanya sambil nyengir. Aku tau dia berusaha menutupi kesedihannya. Begitulah kebanyakan orang, pintar berpura-pura.

"Lo masih mau nangis?" Tanyaku. Ia spontan membulatkan kedua matanya kaget. "Lo tau pernah ada yang gantung diri disini?" Wajahnya yang semula terlihat kaget berubah menjadi ketakutan. Ia langsung merapatkan duduknya padaku.

"Gantung diri kenapa emang?" Tanyanya penasaran. Aku menahan tawaku. Sebenarnya itu hanya akal-akalanku saja.

"Denger-denger sih dia sering nangis disini. Terus tiba-tiba aja gantung diri. Gue lupa nanya alasannya sih." Kataku tersenyum samar. Tentunya ia tidak melihat senyumku itu.

"Gue kayaknya kenal lo deh." Katanya menatapku penuh selidik. Seingatku aku bukanlah siswi populer, dan dia bukan teman sekelasku. Tapi kenapa dia bisa mengenaliku?

"Gue gak kenal lo." Kataku langsung berdiri dan menepuk rokku yang kotor. Ia pun ikut berdiri.

"Lo tinggal di perumahan Cempaka kan? Di jalan Jati?" Tanyanya memastikan. Aku menatapnya kaget. Kok dia bisa tau? "Gue liat pas lo pindahan minggu lalu. Untung ingatan gue bagus." Katanya terkekeh.

"Gue Weli, lo?" Tanyanya menyodorkan tangan ingin berkenalan.

Flashback off

Laksana [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang