Lisa berlari sekencang mungkin memasuki lift. Ia menekan tombol lift dengan gusar untuk menuju rumahnya sendiri. Beberapa menit di dalam lift jadi terasa lama karena ia terburu-buru. Lisa meremas jarinya gelisah.Setelah sampai pada lantai 11 Lisa langsung keluar dari lift dan berlari menuju pintu apartmentnya. Ia memasukkan kode pada tombol di pintu lalu ketika terbuka ia langsung masuk dengan cemas.
"Kenapa?" tanya Bintang heran melihat Lisa seperti orang yang di kejar setan.
Lisa melihat ke arah sekitar, tidak ada siapa pun. Ia bernapas lega. Lalu ia mengatur nafasnya dengan memegang dadanya yang berdetak tidak karuan. "Aku sudah bilang kan--"
"Oma yang mengantar," potong Bintang.
Lisa terduduk pada meja pantry di dapurnya. Ia menenggelamkan kepalanya di sana dengan tangan sebagai tumpuan menyalurkan rasa lelahnya.
Ia ingin sekali marah kepada Bintang. Ia sudah mengatakan berkali-kali untuk meneleponnya ketika selesai, tapi Bintang tidak melakukannya. Tiba-tiba Hanbin mengirimkan pesan ke ponselnya jika Bintang sudah diantar pulang. Jelas saja Lisa dari kantornya langsung buru-buru pulang.
Lisa membangunkan dirinya. Ia menghadap Bintang yang sedang berada di meja makan tak jauh dari meja pantry. "Kau seharusnya--"
"Apa aku harus menolak Oma?" sela Bintang.
Lisa membuang napasnya. "Setidaknya kabari aku! Apa aku harus mendengar kabarmu darinya?"
Bintang menghentikan aktifitasnya yang sedang makan. "Aku tidak suka diganggu saat sedang makan," kata Bintang dingin. Anak itu tidak nafsu lagi dengan makanannya yang dibeli Omanya di jalan pulang.
Lisa mengaku salah, ia mengangguk. "Lanjutkan makanmu." Lalu ia melangkah dengan gontai ke arah kamarnya. Hatinya sungguh terasa sakit, mungkin ini adalah balasan karena ia meninggalkan Bintang 12 tahun lamanya.
Lisa masuk ke kamarnya, ia menutup pintu dan menangis dalam diam dibalik pintu. Ia sangat khawatir jika Bintang diantar Hanbin. Ia tidak akan sudi, ia tidak akan mengizinkan hal itu. Ia benar-benar akan marah besar jika hal itu terjadi hari ini.
Lisa menangis dalam diam. Ketakutannya bukan hanya soal itu, ia takut Bintang akan akrab dengan Hanbin dan menerima Hanbin dengan mudah. Ia tidak mau Bintang meninggalkannya.Entahlah kenapa ia setakut itu, ia juga tidak mengerti dengan dirinya sendiri
****
Akhirnya Hanbin sudah bertemu dengan anaknya. Kemarin mereka pergi jalan-jalan ke mall, bersama Bunda, Ayahnya juga Jennie untuk bersenang-senang. Mereka bermain timezone, membelikan Bintang sepatu, dan makan. Hanbin hanya menemani dan bertugas mengeluarkan uang, Bundanya dan Jennie yang lebih dekat dengan Bintang. Mereka seperti keluarga bahagia kemarin.
Bintang sudah sedari awal sadar jika ia adalah ayahnya. Apakah Lisa memang memberitahukan kepada Bintang? Ia tidak pernah berpikir begitu, tapi mengingat kemarin Lisa mengizinkannya bertemu Bintang membuatnya sedikit sadar, mungkin ada peluang untuknya.
"Semudah itu? Dia gak marah?"
Hanbin menggeleng kepada seseorang wanita yang sedang merespon ceritanya bertemu Bintang kemarin. "Dia gak marah, tapi sikapnya dingin."
"Kaya kamu dong."
Wanita itu memang benar. Hanbin tersenyum mendengarnya, sifat mereka memang sama. "Bisa dibilang."
"Trus gimana selanjutnya?" tanya Raya duduk di sofa ruang kerja Hanbin.
Kali ini Hanbin terdiam, ia menatap sebuah map di depan meja kerjanya. "Aku masih mikir."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanlice - Memory
FanfictionMemory itu terus kembali. Memory yang sangat ingin ia hilangkan dari kepalanya. Ingin menjauh ia justru terus berdekatan dengan Hanbin yang terus menatapnya tak acuh. Ia seharusnya membenci pria itu. Tapi otak dan hatinya tidak bisa bekerja sama. Li...