Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pukul sebelas malam, bulan masih setia bersama bintangnya. Masih menemani malam yang sunyi bersama alunan musik dari Banda Neira juga Nadin Amizah. Kaluna Ghea masih terjaga, duduk bersandar pada kasur dengan telinga yang ditutupi earphone putih yang memutar lagu Rumpang. Pikirannya menelisik pada kejadian beberapa tahun silam. Dimana beberapa jam sebelum acara kelulusan sekolah dasar, Ghea mendengar suara gaduh di lantai bawah. Ribut, dua orang sedang berdebat hebat sampai suatu suara yang Ghea yakini adalah suara tamparan membuatnya berjalan turun untuk meyakinkan.
Dihadang Rhea begitu keluar dari pintu untuk tidak menunjukkan diri dihadapan papa yang sedang murka. Bibir Ghea, tetehnya tutupi agar tidak menimbulkan suara, namun begitu mengintip di sela pintu, dia sudah tidak tahan lagi untuk bersembunyi. Ghea berteriak lalu lari turun, menemui mamanya yang sudah terkapar berselimut darah. Perutnya tertancap sebuah pisau dapur. Ghea tidak hentinya menangis, berseru memanggil mama walau ia mengerti cara itu tidak akan pernah membangunkan mama. Sedangkan Rhea terkejut, kakinya lemas, ambruk tidak jauh dari posisi mamanya tergeletak.
Lalu kemudian matanya melihat papa yang masih berdiri tidak jauh dari mereka. Gadis itu berdiri, menghampiri papanya. "J-jangan bikin kita jadi takut sama papa..."
"Ghea lo udah tidur—lah? Lo ngapain nangis?"
•••
Dini hari pukul tiga, segala cara Ghea lakukan untuk menghilangkan mata sembabnya. Semalam habis bergadang bersama Rhea karena mengingat kelulusan sebelumnya adalah hari dimana mama bunuh diri dengan cara menikam perutnya. Dan... Hari ini adalah kelulusan kedua tanpa kehadiran mama yang akan membuatkan kue serabi untuk Ghea sehari penuh untuk merayakannya. Setiap malam kelulusan selalu Ghea isi dengan hati yang mendorongnya untuk menangis, memegang foto lama mamanya adalah cara untuk bisa berkomunikasi selain mendoakannya. Fotonya rapi, tapi malam itu secara tidak sengaja Ghea membasahi dengan air matanya. Terlihat seperi mama ikutan menangis karena tidak bisa menghadiri kelulusan anaknya kedua kali.
Semoga nanti, tidak ada yang melihat bekas sembab di matanya. Ghea yakin, gadis itu pandai berlakon, tentu tidak ada yang bisa membaca isi hatinya jika dia pura-pura bahagia. Bahkan Eden pun tidak akan menemukan titik sedih dari matanya.
Mengapa begitu yakin? Karena dari dulu Ghea sudah terlatih untuk selalu berpura-pura tegar dihadapan kawannya, seakan sesuatu yang besar tidak pernah terjadi dalam hidupnya. Hanya saja... Satu yang membuatnya sedikit tidak yakin untuk bisa berlakon kepada semua orang. Leo, lelaki itu sudah mengerti isi hati dan pikiran Ghea sejak dulu, jadi mungkin jika dia memergokinya sedang bermuka dua.
Saat ini pukul delapan malam, Ghea sebenarnya lelah dan ingin bermesra bersama guling kesayangannya. Tapi tidak mungkin menolak karena Leo mengajaknya makan di McD, rombongan sih, sama Nana beserta Gendis. Kalau Rhea tidak ikut, ada urusan dengan temen kerjanya. Dari tadi Ghea dan yang lain haha hihi sambil makan ambil sana sini. Entah dapat uang darimana, Leo membayari semuanya. Awal-awal Ghea ragu, tapi lama-lama ngapain juga dia repot-repot mikirin Leo dapet uang darimana, yang penting perutnya kenyang, tidak masalah.
Makanan dari ujung kanan sampai kiri sudah bersih habis, manusianya sudah terkapar kekenyangan. Maruk karena tumben-tumbenan Leo membayari, biasanya kalau tidak patungan ya bayar sendiri-sendiri. Saking senangnya sampai tidak tau aturan kalau memesan.
Semuanya mengangguk lalu berberes dan keluar menuju parkiran. Ghea dan Gendis berjalan didepan, sedangkan Leo dan Nana menyusul dibelakang.
"Gue nganter Gendis, jadi kayanya gak bisa ikut kalian. Sori dan thanks ya bro, perut gue kayanya kaget habis makan yang bener-bener makanan. Gue duluan!" Nana berucap sebelum Ghea dan Leo masuk kedalam mobil.
Bukan karena dia tidak pernah merasakan makanan McD, tapi Nana anak kosan, anak perantauan dari Jogja. Jadi harus ngirit. Dan yang dibilang benar-benar makanan adalah, dia benar-benar merasakan kenyang dan enak, bukan sekadar nasi dan telur mata sapi.
"Loh Nana kan nggak bawa motor? Atau dianterin ke rumahnya Iyan aja?" Tanya Ghea.
"Enggak Ghea, gue harus mampir dulu ke tante soalnya. Hati-hati ya Le bawa calon pacar!" Gendis melambai lalu berjalan mendampingi Nana.
Canggung menyelimuti mereka sampai perjalanan.
Sampai Leo membuka suara.
"Kalau inget sama Mama lo bisa ngomong sama gue Ghe, gue siap 24 jam."
"Jangan malah bohong, capek banget tau bohong seharian."
"Lo... Bawa motor kan? Ada yang mau gue omongin sama Ghea nanti."
"Mau official ya? Iya nggak papa gue sama Gendis jalan kaki aja, motor gue kan di Iyan. Kabari gue ya kalo udah fix."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.