Rasa bersalah Leo semakin menjadi ketika sudah dua hari tidak mendapat kabar dari sahabatnya. Sudah tiga jam ini dia termenung dikamarnya, memikirkan apa yang seharusnya dia lakukan.Kepalanya menatap jam dinding disampingnya, masih pukul 7 malam, Ghea sudah jelas belum tidur, dan pasti di rumah. Lewat jendela rumahnya, dia bisa tahu karena Leo dapat melihat lampu kamarnya menyala.
"Apa gue harus ke sana?"
Tanyanya pada diri sendiri.
Sudah seharusnya dia menghampiri gadis itu. Leo merasa bersalah karena waktu itu membuat Ghea menangis, bahkan Leo memperlakukan Ghea dengan sedikit kasar.
Harusnya Leo diam saja, karena waktu itu Fey memang melampaui batas wajar. Jelas Ghea marah.
Tapi nanti, jika Leo malah diusir bagaimana?
Tidak, tidak mungkin. Ghea tidak pernah sampai seperti itu meski marahnya luar biasa.
Setidaknya Ghea mendengarkan jika seseorang memberi penjelasan. Urusan memaafkan itu belakangan.
Cowok itu dengan yakin meraih jaketnya lalu berjalan menuju rumah Ghea dengan niat yang sungguhan.
Udara dingin mulai menusuk kulit Leo meski sudah dibalut dengan jaket. Tangannya menggosok lengannya agar menimbulkan kehangatan.
Sudah didepan gerbang, cowok itu terdiam.
Ada keraguan dalam benaknya.
Leo malu karena berhadapan dengan gadis itu.
Tangannya yang sudah memegang gerbang ia turunkan, mengurungkan niat untuk masuk kedalam. Lebih lagi ketika ia melihat mobil seseorang yang Leo tahu, adalah milik Abram. Pasti didalam mereka sedang membicarakan hal yang sangat penting, dan bagaimanapun juga itu adalah privasi mereka. Leo tidak bisa mengganggunya.
"Mungkin lain kali." gumamnya sebelum meninggalkan rumah Ghea.
Baru beberapa melangkah, Leo dibuat terkejut dengan teriakan didalam sana.
Leo menoleh, mendapati tiga orang keluar dari dalam sana. Leo diam dibalik pohon bonsai untuk melihat dengan lamat siapa disana.
"Abram?"
Satu lelaki itu sudah pasti Abram, papa Ghea. Tapi bersama siapa dia? Mereka asing Leo tidak mengenalnya. Mereka perempuan, yang satu sudah sedikit tua dan yang satu rupanya remaja seumurannya.
"GHEA!!"
Leo tersentak. Cowok itu dengan segera berlari menuju rumah Ghea, masuk kedalam mencari Ghea dan kakaknya.
Nihil.
Diruang tamu terlalu berantakan dan dia tidak menemukan kedua kakak beradik itu disana.
Telinganya mendengarkan isakan tangis seseorang didalam kamar mandi utama.
"Ghea!"
-
Sudah dua puluh menit mereka menunggu tanda Ghea bangun. Mereka menunggu didepan ruangan sembari menenangkan diri. Leo hanya bisa memeluk Rhea yang sedari tadi terisak tiada henti. Tangannya menepuk-nepuk punggung Rhea yang bergetar akibat tangis.
Tangan kanannya ia gunakan untuk memegang tangan Rhea yang penuh keringat.
Leo.... Semakin merasa bersalah.
"Maaf."
Rhea mendongak, menatap Leo.
"Harusnya gue langsung masuk waktu liat ada mobil om Abram didepan."
"Gue... Nggak berguna."
Ada jeda diantara keduanya. Rhea menegakkan badannya, dan menatap Leo.
"Lo nggak salah, gue malah berterimakasih karena lo datang." ucap Ghea dengan suara parau.
"Tapi gue telat."
"Kalo lo nggak ada, gue nggak tau harus ngapain."
"Kata dokter juga kita nggak telat kan bawa Ghea? Kalo bukan karena lo... Ghea—"
"Lain kali, kalo om Abram datang. Lo atau Ghea hubungin gue, setidaknya gue siap badan kalo mereka bertindak lagi." Leo tersenyum.
"Makasih."
Beruntung Leo dikelilingi oleh orang-orang yang baik. Ada orang yang selalu menangguhkan hatinya ketika perlahan merapuh. Ada orang yang selalu ada untuknya ketika ia merasa sendirian. Ada orang yang selalu ada didepan ketika ia merasa pecundang.
Leo punya orang-orang itu.
Leo tidak hanya memiliki Ghea, tapi juga mama, Rhea dan Fey. Leo beruntung memiliki tiga perempuan dihidupnya, meski salah satu diantaranya belum memiliki titik untuk lepas dari masa lalu. Tetap, dia tetap segalanya untuk Leo.
"Sama-sama."
Rhea baik, gadis yang lebih tua tiga tahun darinya itu sudah seperti kakak kandung baginya. Tidak ada batasan status diantara keduanya. Mereka sama-sama menyayangi, saling menganggap keluarga meski kekurangan jadi penghalang.
"Dengan keluarga Kaluna Ghea?"
Mereka dikejutkan oleh seorang dokter dengan perawat disampingnya.
"Iya saya kakaknya. Bagaimana dok?"
"Begini, beruntung pasien tidak mengalami pendarahan dan hanya cedera ringan pada otaknya. Juga pernapasannya yang sedikit terganggu karena air masuk ke dalam paru-parunya sudah kami bantu dengan beberapa alat medis lain. Anda, tidak perlu khawatir. Pasien akan baik-baik saja." Jelas dokter itu. Bisa Leo lihat, Rhea merasa lega.
"Tapi pasien harus benar-benar diperhatikan. Kemungkinan besar Ghea akan sedikit memiliki trauma, hal itu yang dapat menyembuhkan hanya dari orang-orang yang dia sayangi. Terlebih lagi keluarga."
Rhea merasa tertusuk diulu hati ketika mendengar kata keluarga.
Mereka... Kurang memiliki hal itu.
"T-terimakasih dok."
"Kalau begitu saya permisi."
"Ghea itu kuat kak..."
KAMU SEDANG MEMBACA
DINERO
Fiksi Remaja"Bahagia kok karena uang. Bahagia tuh kalo lo sama gue nikah." Cae; 2020