Dago Tea House

269 55 1
                                    

"Iya kapan-kapan papa bakal ajak kamu main kok. Diem-diem tapi, nanti mama kamu marah lagi."

"Iya pa, ini aku aja diem-diem kok di kamar."

"Aa' sama mama kemana dek?"

"Mama kerja pa, kalo Aa' aku nggak tau."

"Kebiasaan mama kamu itu! Udah jam segini bukannya pulang masih aja keluyuran. Kamu kan jadi sendirian dirumah! Aa' kamu juga makin kesini makin nggak bisa di kontrol."

Tanpa Tirta ketahui, Fey sedang terkekeh dengan pipi bersemburat merah. "Papa khawatirin aku ya?"

"Ya jelas dong. Papa kan sayang banget sama kamu—"

"Papa udah ya, kayanya mama pulang deh."

"Yaudah kalau gitu sampai jumpa nanti ya kesayangan papa. Dadah!"

Fey tersenyum lega karena mendapat kabar dari papanya setelah sekian lama sama-sama bungkam. Ia buru-buru menuju ranjang untuk pura-pura tertidur ketika seseorang membuka pelan pintu kamarnya.

Fey kira seseorang akan masuk dan mengganggunya, namun pendengarannya tidak menangkap langkah seseorang masuk, malah ia mendengar pintu tertutup kembali.

Gadis itu tau, jika mamanya melihatnya tertidur, beliau enggan mengusiknya. Daripada terkena sembur, mending melihat dari jauh.

"Papa... Sabar dulu ya? Nanti aku bakal berusaha untuk ketemu sama papa."

"Udah tidur ma?"

Wanita itu mengangguk. "Kayanya capek banget di sekolah tadi. Kamu mau makan?"

Leo yang ditawari pun menggeleng, "aa' udah kenyang ma. Mama tidur aja."

Wanita itu menurut, kakinya membawa tubuh lelah itu menuju kamar. Letaknya berada di seberang kamar adiknya. Leo prihatin dengan keadaan mamanya yang tidak begitu sehat, pekerjaannya yang lumayan membuat lelah, serta tekanan yang terus Fey berikan ketika ia bertugas sebagai seorang ibu. Pikirannya pasti lelah, bingung, kalut.

Semoga, setidaknya Fey tidak berbuat macam-macam. Diam lebih baik.

Drtt... Drtt...

Sebuah getaran tanda seseorang menelepon membuat lamunannya terpecah. Tadinya akan marah karena malam-malam seperti ini masih saja ada yang mengganggunya, tapi tidak jadi ketika melihat siapa yang menelepon.

"Ha—"

"Leo gantengggg... Anterin neng daftar dong besok!"

Mendengar ocehan begitu ceria dari Ghea, Leo lantas ikut senang.

"Semangat banget sih se kampus sama gue? Apa jangan-jangan emang lo dari dulu pengen ya?"

"Ngaco! Kalo nggak ada kating yang suka nyanyi di Dago Tea House mah gue males banget sekampus sama manusia blegug kaya lo."

Dahi Leo mengerut, "kating mana sih? Lo stalk  kating-kating ganteng biar bisa di genitin ya?"

"Gatel! Enggaklah Le... Dia itu yang kemarin bantuin benerin gitar gue yang kabelnya berbelit. Sama dia pernah kasi gue tempat duduk di backstage waktu manggung di cafe nya Aka."

Leo mencoba berpikir, 'siapa sih?'

"Lo gatau kak Genta apa Le? GENTA LE GENTA! KETUA BEM! SOLOIS GANTENG YANG SUARANYA BENER-BENER SYAHDU!"

Leo tampak berpikir,

Oalah! Genta Bimanegara? Batinnya.

"Apaan orang sok manis gitu."

"Tapi baik Leo... Dia tuh udah ganteng, suaranya adem, bahkan gue kalo denger suaranya aja berasa kedinginan—"

"Lebay lo."

"IRI BILANG BOSS!"

"Ohiya, hari ini Genta manggung loh di Dago, kesana yuk? Lama juga kan lo nggak kesana?"

Leo berpikir, sebenarnya mulutnya akan menolak ajakan Ghea, tapi ia tidak tega menolak permintaan gadis itu. Bagaimanapun juga, meski raganya lelah, cowok itu ingin menghirup udara segar. Bermain keluar mungkin akan sedikit mengurangi semua pikiran di otaknya.

"Yaudah iya, gue jemput."

"Yaiyalah lo yang jemput. Cewek jemput cowok itu pamali."

"Kata siapa?"

"Kata gue barusan, udah sana ah mau mandi gue."

Leo tertawa mendengarnya, kehebohan Ghea hari ini sedikit mengubah mood Leo yang sedari pagi begitu buruk menjadi lebih baik. Karena tugasnya yang sedikit banyak harus di revisi, juga dosennya yang tiba-tiba absen saat hari itu jadwalnya mempresentasikan projek kerja yang dua malam ini ia kerjakan dengan sangat susah.

Juga pekerjaannya yang sedikit lebih banyak dan melelahkan dari biasanya.

-

Sudah dua jam ini Ghea bergulat dengan beberapa pakaian yang berserakan di tempat tidur. Semua setelan baju yang sebelumnya berjajar rapi di lemari kini telah berpindah tempat dimana-mana, memenuhi ruangan minimalis yang didominasi warna putih. Gadis itu kini sedang memegang baju lengan panjang juga ripped jeans biru cerah, menempelkan asal pada tubuhnya sembari berkaca. Matanya melirik dari atas sampai bawah, tubuhnya miring kanan kiri untuk menyesuaikan dan melihat apakah setelan itu cocok dengannya. Hal itulah yang ia lakukan selama kurang lebih dua jam ini dengan beberapa pasang pakaian yang lain sampai matanya tak sengaja melirik jam yang sudah mendekati pukul tujuh malam. Menginterupsi nya untuk segera bersiap sebelum Leo datang.

Ya, hari ini ia dan Leo akan pergi ke Dago Tea House untuk melihat live performance band milik solois bernama Genta yang belakangan ini mengganggu pikiran Ghea. Sebenarnya Leo tidak mau, tapi yang namanya Ghea suka memaksa, mau tidak mau Leo mengiyakan.

Mengenakan setelan sederhana yang dibalut dengan jaket denim dan rambut pink nya yang dikuncir kuda membuat gadis itu tampak sangat cantik di mata Leo yang kini sudah menunggu di depan gerbang.

"Giliran mau ketemu Genta aja cantik lo." Leo bersuara setelah melihat Ghea dari atas sampai bawah. "Emang biasanya gue jelek?!"

"Iyalah! Mana kaya gembel."

"Ntar kalo gue cantik lo yang baper."

Leo mendelik mendengarnya, "jangan ngadi ngadi lu. Udah buruan naik!" bokongnya sengaja ia gerakan memberikan Ghea kode untuk segera duduk.

"Tck, sabar elah pak. Nah udah yuk Cussss....!!"

"Pegangan neng, ngeeeng!" belum sempat berpegangan dengan benar cowok itu sudah main tancap gas bersamaan badannya ia condongkan kedepan, berlagak bak pembalap motogp gadungan. Ghea yang terkejut lantas memeluk Leo dengan erat dan ketika cowok itu tertawa Ghea tidak sungkan-sungkan untuk memukul helmnya.

Mereka tertawa, bersenda gurau melupakan dinginnya udara malam. Sampai tidak terasa sudah sampai di tempat. Saat Ghea melepaskan helm, netranya menangkap seorang tengah berdiri didepan pintu masuk dengan dipunggungnya bertengger sebuah tas yang ia yakini didalamnya terdapat gitar. Cowok itu tertunduk, fokus pada handphone yang sedang ia pegang. Mata Ghea sudah berbinar dan mulutnya menganga, tangannya menepuk Leo yang tengah melepaskan jaket.

"Apasih ah!"

"Itu itu! Genta Le Genta! Buset dia sendirian, samperin gak ya. Iya samperin—eh aduh duh! Apaan sih Le!" protes Ghea saat tangannya ditarik Leo.

"Alay banget lo! Udah jangan ganjen, masuk."

Ghea cemberut, kemudian mengekori Leo yang sedang berjalan angkuh didepannya.

Apa-apaan sok-sokan melarang Ghea? Memang dia siapanya.
















































"Ngeselin banget."

DINEROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang