Tidak mau dikasihani, tidak mau ditatap iba, dan tidak mau disayangi dengan alasan karena kasihan. Banyak orang tidak mau orang-orang yang mengasihinya selama ini hanyalah didasari karena rasa iba pada diri mereka begitu tahu kejadian yang menimpa hidupnya.Termasuk Fey.
Dirinya selalu menutup diri saat orang lain berusaha masuk dan membantu. Fey selalu membangun tembok tinggi saat orang lain melakukan berbagai cara untuk masuk dan merengkuhnya dalam pelukan. Fey tidak mau, dia bisa sendiri, buktinya selama beberapa tahun ia hidup tanpa papanya, ia bisa jadi manusia normal.
Manusia normal tanpa rasa bahagia di hidupnya.
Ya, siapa yang akan bahagia saat separuh kebahagiaannya telah pergi dan membangun kebahagian bersama orang lain lagi?
Fey rasa, mungkin kebahagiaan enggan menghampirinya.
Bukan bahagia yang enggan, tapi Fey yang menolak untuk bahagia.
Buat apa? Buat siapa?
Tidak ada lagi orang yang ia percaya. Semua orang di matanya sudah pergi. Mereka bahagia dengan cara mereka sendiri, dan Fey bahagia dengan caranya sendiri.
Dengan berfoya-foya di kelab malam, minum minuman beralkohol, pulang dengan keadaan kacau, dan begitu seterusnya. Bahkan jika tidak sadar, mungkin kejadian seperti ia merengek pada lelaki yang jelas sudah jadi hak milik temannya hingga menimbulkan pertengkaran hebat.
Dengan begitu Fey puas, bahagia.
Hari-harinya kacau, tidak beraturan.
Tapi ia menutup itu semua, agar orang memandangnya baik-baik saja.
Padahal jauh di sudut hatinya meraung ingin bahagia. Hatinya lelah, bertahun-tahun hanya tenggelam dalam lautan kesedihan. Kapan jatahnya bahagia? Apakah ia ditakdirkan untuk selalu terjebak dan tidak bisa bangkit?
Ia mau bangkit, tapi begitu ada seseorang yang mengulurkan tangannya menawarkan bantuan, Fey menolaknya keras-keras, padahal ia tau, ia tidak bisa sendiri.
Orang-orang itu adalah, Mama, Ghea, Leo dan Rhea.
Empat orang yang selalu ada untuknya.
Tapi, ah! Mereka hanyalah orang-orang yang iba padanya.
Fey hanya butuh memamerkan pada mereka bahwa ia bisa sendiri, tanpa uluran tangan munafik.
Tapi ribuan kali Fey menolak uluran tangan, ribuan kali itu juga mereka selalu menawarkan padahal tau ujungnya Fey selalu menolak.
Seperti sekarang ini, saat Fey meraung-raung pada jalanan sepi di ujung kompleks.
Rencananya akan pergi membeli minuman alkohol sudah sirna, begitu ia mendengar percakapan mama dan abangnya.
"Makanya bang. Kamu jangan sesekali sakiti Fey ya? Meski Fey salah, jangan disalahkan, jangan dimarahi. Cukup kasi tau aja salahnya dan apa yang harus dia lakukan. Kamu juga harus gitu sama Ghea, dan tetehnya. Gimanapun mereka sudah kita anggap keluarga, ya? Kamu gak papa kan?"
Mendengar mamanya berujar demikian Fey menghentikan langkah.
"Gak papa atuh ma ih. Jangan anggap aku kaya anak kecil yang kalo ada keluarga baru pasti cemburuan." kali ini Leo yang berbicara.
"bagus deh. Oh iya, tahun depan, Fey kan udah kuliah nak. Gimana ya? Apa dia mau kuliah, atau kerja? Jujur, mama bingung banget, adek kedepannya harus kaya apa karena selama beberapa tahun terakhir dia jadi diem. Dia kaya bangun tembok gedeeeee banget, sampe mama aja gak bisa nembus."
KAMU SEDANG MEMBACA
DINERO
Teen Fiction"Bahagia kok karena uang. Bahagia tuh kalo lo sama gue nikah." Cae; 2020