Ghea melemparkan tubuhnya lega pada kasur putih dengan semburat biru langit pada bagian bawah. Ia lega begitu mendengar kabar bahwa Fey-nya yang dulu sudah 'pulang'. Bukan ia senang karena dirinya ikut membantu memulihkan, tapi karena ia bisa melihat bagaimana proses gadis itu memaafkan dirinya sendiri, hingga ia memutuskan untuk kembali ke 'rumah'.Beberapa menit yang lalu ia keluar sebentar untuk membeli beberapa ciki-cikian di indomaret tempat Leo bekerja. Untung ia tidak pulang bersama sahabatnya, kalau iya, mungkin ia tidak bisa membiarkan Leo melihat adiknya sedang membutuhkan pelukan.
Karena Ghea paham, belum waktunya Fey untuk bertemu dengan Leo.
Fey masih butuh sendiri.
Ghea sadar, bahwa menyalurkan kebahagiaan pada orang lain termasuk hal yang biasa saja. Tapi, hal sekecil itu dapat merubah kehidupan orang, yang sebelumnya gelap, sunyi, tanpa warna, berubah jadi terang dan berwarna.
Ghea menatap foto mamanya dalam pigura kecil berwarna hitam yang ia letakkan di atas nakas.
Mengambilnya saja membuat Ghea begitu rindu pada sosok Ibu yang tersenyum manis disana.
"Mama tau? Ghea udah ngelakuin apa yang mama selalu ajarkan. Mama selalu ingin Ghea jadi tempat orang lain buat bahagia, Ghea jadi alasan untuk orang-orang tersenyum, Ghea jadi tempat untuk orang menyalurkan kebahagiaan."
"Mama... Makasih ya, udah mengajarkan hal terbaik dalam hidup Ghea. Mungkin kalau waktu itu mama gak ngajak Ghea buat duduk bareng di depan teras sambil nunggu teteh sama papa pulang. Ghea gak akan jadi Ghea yang sekarang."
"Waktu itu aku gak tau kalo mama bakalan pergi secepat ini. Tapi aku makasih, karena mama, gak akan pernah biarin aku sendirian. Mama disana baik-baik aja ya, jangan sedih karena Ghea disini baik-baik aja dan akan selalu baik-baik aja. Selamat malam mama."
Dibalik pintu kamar bertuliskan supreme itu, Rhea bersandar menghela napas lalu mendongak.
Hatinya sakit begitu mendengar adiknya berujar pelan mengatakan hal yang mungkin akan didengar mamanya di atas sana.
Rhea sayang sama mama. Selamat malam, mama.
Jajaran makanan sederhana buatan mama sudah berjajar rapi di atas meja makan berwarna cokelat tua. Enam buah kursi yang mengelilingi meja tersebut hanya bisa diisi oleh dua orang. Yang satu duduk dan yang satu lagi berdiri sembari menyiapkan makanan anaknya.
"Adek suruh makan dulu deh bang."
"Iya ma."
Meski keduanya tau, ajakannya akan ditolak si bungsu, mereka masih tetap menawarkan. Karena biar bagaimanapun, Fey masih anggota keluarga.
Mengetok pintu dan menawarkan makan malam dengan lembut, hanya dijawab dengan kesunyian. Lantas, dengan harapan yang sirna, Leo kembali.
Ia menggeleng begitu sampai di ruang makan, memberi tanda pada mama bahwa, tidak ada harapan bagi mereka.
Keduanya lantas melanjutkan makan malam, sebelum seseorang turun dari lantai atas.
"Aku boleh.... Makan bareng?"
Sayur yang sudah hampir masuk ke mulut Leo lantas kembali jatuh. Begitupun mama, ia sampai tersedak saat Fey turun dan bertanya.
Sungguh! Ini mimpi!
Fey menggaruk tengkuknya, "boleh?"
Tanyanya kembali, dan membuat dua orang itu salah tingkah.
"Boleh kok! B-boleh banget malahan, sini nak duduk." mama menarik kursi tepat di seberang Leo.
KAMU SEDANG MEMBACA
DINERO
Teen Fiction"Bahagia kok karena uang. Bahagia tuh kalo lo sama gue nikah." Cae; 2020