Keinginanku untuk menemuimu sudah melampaui kapasitas maksimal struktur psikis manusia normal.
Karena kemampuanku berkompromi dengan rasa frustasi untuk tidak menanyakan tentang apa yang selama ini menggangguku sudah tak lagi mampu dibendung kanal ego, jadi di sini lah aku, menyusuri jalanan kota yang menjadi tempat tinggalmu sejak lima bulan lalu.
Bulan itu adalah bulan yang sama dengan bulan terakhir kita bertemu mata. Bulan terakhir kala kita saling menatap tanpa ada sepatah kata pun terucap.
Kalau diizinkan untuk jujur, bukan inginku untuk membeku dan tidak menggoreskan senyumku kala itu. Tapi entah kenapa kamu terasa begitu jauh bahkan saat jarak kita tak lebih dari selebar bahu.
Tak ada tarikan senyum apalagi sapaan ramah yang biasa kamu berikan padaku. Yang ada hanyalah kamu yang berkali-kali menghindari manik mataku, tanpa alasan yang masuk akal apalagi mampu ditalar.
Hari itu berakhir dengan kamu meninggalkanku dalam gamang, tidak tahu apa yang membuatmu menganggapku tak terbilang.
Sampai akhirnya dua hari kemudian aku tahu kalau kita benar-benar tidak lagi punya kesempatan untuk bersenda gurau.
Tak ada lagi kamu yang akan menawarkan kopi setiap kali selesai meeting di luar, pun aku yang akan bangun lebih pagi di akhir minggu, menunggu kamu menjemputku kemudian membuatkanmu berbagai dessert abal-abal yang tak pernah kusangka akan memenuhi standar seleramu.
Tapi memang aku yang salah.
Kamu sudah pernah datang tanpa permisi. Aku yang terlalu naif untuk lebih cepat menyadari bahwa kamu juga bisa tiba-tiba pergi tanpa pernyataan undur diri.
Aku yang terlalu berharap hanya karena sebuah tatap.
Aku yang terlalu cepat bahagia tanpa tau kemana semuanya akan bermuara.
Aku yang terlalu bodoh karena menganggap semua itu nyata.
Karena realitasnya, semua tak lebih dari hantu di sudut pikir yang tak lagi kasat mata.
Lo emang sinting! Nggak waras! Nekat!
Aku memaki diriku sendiri, berkali-kali. Terlebih saat aku menapaki satu kedai makanan itali di samping kedai sushi terpopuler di kota tempat tinggalmu ini.
Iya, ini tempatmu, mungkin, biasa bercengkrama dengan kolega-kolega kantormu yang baru sambil melepas penat seusai bekerja seharian dengan jadwal yang padat. Sebuah public space kenamaan kota yang aku cari tahu setelah melihat postingan media sosial yang kerap kali kamu bagikan dalam kurun satu bulan terakhir.
Demi Tuhan, lo ngapin sih? Bisa-bisanya ngambil cuti dan datang ke kota ini tanpa tujuan yang benar-benar matang?
Aku kembali merutuk dalam hati saat akhirnya benar-benar duduk di salah satu spot yang aku tahu pernah kamu bidik oleh kamera ponsel dan sudah terunggah di feeds media sosialmu sekitar dua minggu yang lalu.
Salah seorang pelayan wanita menghampiriku sambil memberikan buku menu. Aku menyebutkan pesananku dan tiba-tiba jantungku berpacu dua kali lebih cepat saat pelayan itu berlalu.
Menemuimu tentu saja bukan pilihan yang tepat. Sebelum bertemu saja aku sudah kalang-kabut sendiri, entah hendak mengatakan apa senandainya kita benar-benar bertemu.
Fokus pikiranku juga terpecah akan Mas Juna yang masih tak kunjung membalas seluruh pesanku.
Tapi dengan tidak menemuimu, artinya aku harus mencoba berdamai dengan rasa penasaran yang aku yakin tak akan kunjung mereda sampai aku benar-benar mengetahui jawabannya dari mulutmu sendiri.
Jadi sebetulnya aku tidak tau apa yang aku harapkan dengan duduknya aku di tempat ini, mengharapkanmu datang dan menyapaku dengan senyuman yang selalu terlihat pantas menghiasi wajahmu atau justru mengharapkan hal sebaliknya.
And I don't know what I'm more afraid of: to see you again or to never see you again.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, You.
RomanceKisah tentang Nirmala, Jaevier, dan Arjuna yang terjebak dalam segitiga cinta tak kasat mata. Sampai akhirnya mereka menyadari bahwa sebesar apapun kasih sayang dan sekuat apapun ikatan cinta yang dimiliki tidak akan cukup untuk mempertahankan hubun...