Aku terjaga dari tidur yang entah sudah berlangsung berapa lama dengan disambut oleh secercah cahaya matahari yang menebar masuk dari tirai jendela. Cahaya itu menyentuh lembut mataku yang membuatnya kembali terpejam selama beberapa saat karena belum terbiasa dengan apa yang diterima korneanya secara tiba-tiba.
Aku mencoba menarik napas dan seketika itu juga merasa tidak nyaman karena ada sesuatu yang menghalangi. Kubuka kembali mataku dan baru kusadari ada sesuatu yang terpasang menutupi hidung dan mulutku. Aku tidak bisa memastikan benda apa itu, yang jelas aku benar-benar merasa tidak nyaman. Leherku juga terasa sangat kaku, karena disangga oleh sesuatu.
Untuk beberapa menit, aku mencoba memproses segala sesuatu yang diterima juga dirasakan oleh seluruh panca inderaku. Aku pun mulai merasa indera pendengaranku bekerja sebagaimana mestinya karena kini aku dapat mendengar suara yang biasanya hanya aku dengar ketika menonton drama korea bertemakan dunia medis, suara yang aku tahu biasa muncul dari monitor untuk mengetahui kondisi pasien.
Setelah merasa sudah bisa beradaptasi sepenuhnya, kugulirkan mataku untuk melihat sekeliling ruangan bernuansa putih itu semampuku. Tapi pandanganku seketika tertumbuk pada seseorang yang tertidur di sisi ranjang. Kedua tangan lelaki itu menggenggam tangan kiriku dengan erat.
"Mas...." Kupanggil lelaki itu pelan seraya mencoba menggerakkan jemariku yang digenggamnya perlahan.
Tubuh itu tersentak. Dia berdiri dengan sigap sampai-sampai kursi yang didudukinya berdecit karena bergesekan dengan lantai secara tiba-tiba. Saat akhirnya dia mendongak, aku bisa melihat wajahnya dengan jelas.
Wajah kelelahan dengan mata kuyu juga dagu yang terlihat jelas belum sempat dicukur. Wajah milik satu-satunya lelaki yang pernah aku kenalkan kepada Papa dan Mama. Lelaki yang sudah memintaku untuk menjadi istrinya.
Sejak kapan dia datang? Sekarang aku di mana? Aku tahu ini rumah sakit, tapi ada di kota mana? Sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri? Apa yang terjadi sampai aku harus terbaring seperti ini?
Aku belum sempat mengucapkan satu pun pertanyaan yang mengisi kepalaku ketika detik berikutnya kulihat Mas Juna mencium tanganku yang digenggamnya kemudian dia menangis.
Tangisan yang membuatku ingin sekali memeluk dan menenangkannya. Tapi tubuhku benar-benar terasa kaku. Bahkan tangan kananku terasa amat berat. Padahal aku ingin sekali mengusap kepala Mas Juna yang kembali menunduk dalam di sisi kiriku.
Lambat laun kulihat Mama dan Papa hadir, keduanya kemudian memeluk aku dari sisi yang berlawanan dan menangis haru. Selanjutnya mataku menangkap sosok Ibu di ujung ranjang. Wanita itu menangis di pelukan suaminya yang membalas tatapanku sambil tersenyum lega.
Suara tangis mereka menutupi suara patient monitor yang tadi kudengar. Suara tangis yang membuatku bersyukur karena aku masih diberi kesempatan untuk hidup.
Tangan Mas Juna kemudian terulur ke belakang kepalaku, seperti hendak menggapai sesuatu. Beberapa saat kemudian satu dokter dan dua orang perawat memasuki ruangan, membuat semua orang yang semula mengerubungi aku berjalan mundur demi memberikan ruang bagi para tenaga medis tersebut untuk mengecek keadaanku.
Saat itulah aku melihat sosokmu dan Mbak Kinar di balik tubuh Mas Juna.
Sama seperti Mas Juna, wajahmu terlihat tidak kalah kusut. Matamu terlihat redup diliputi kesedihan yang mendalam. Aku perlahan mulai mengingat bagaimana ekspresimu sebelum akhirnya aku menutup mata malam itu.
Diam-diam aku mulai merasa bersyukur karena aku tidak sempat melihat wajahmu saat mengucapkan kata-kata yang terlontar dari mulutmu malam itu. Kata-kata yang mungkin adalah kata-kata paling serius dan paling penuh harap yang pernah aku dengar dari bibirmu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, You.
RomanceKisah tentang Nirmala, Jaevier, dan Arjuna yang terjebak dalam segitiga cinta tak kasat mata. Sampai akhirnya mereka menyadari bahwa sebesar apapun kasih sayang dan sekuat apapun ikatan cinta yang dimiliki tidak akan cukup untuk mempertahankan hubun...