[Eps.26]

2.8K 440 322
                                    

"Mal, lagi sibuk, nggak?"

Mas Satya yang melongok dari dalam ruangannya membuatku menoleh. 

"Kenapa, Mas?"

"Bantuin gue sama Jae bikin dummy storyboard, dong. Brian lagi nggak bisa diganggu soalnya. Bisa nggak?"

Aku terhenyak beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk dan meninggalkan mejaku untuk masuk ke ruangan Mas Satya.

Pemandangan pertama yang ditangkap oleh mataku setelah memasuki ruangan Mas Satya adalah kamu yang duduk di depan meja kaca yang sangat berantakan. Majalah-majalah terbitan lama bertengger tepat di sampingmu yang kini sedang menggunting sesuatu dengan begitu telaten yang malah membuatku gugup luar biasa.

Dalam kurun waktu tiga minggu, baru hari ini aku kembali bekerja dengan kamu.

"Gue mesti ngapain?" tanyaku seraya duduk di kursi kosong di hadapanmu. Kamu berhenti beberapa saat dari kegiatanmu tapi tetap tidak berusaha untuk menatapku.

"Coba bukain aja majalahnya, ada yang udah pada ditandain kok jadi bisa langsung digunting," katamu pelan kemudian kembali menggunting.

Kepejamkan mata sesaat sambil mengatur napas sebagai upaya meredakan kekesalan yang rasanya ingin aku ledakkan detik ini juga. Tapi tidak mungkin aku mengungkapkannya kekesalan itu sekarang. Tidak di hadapan Mas Satya yang juga sudah ikut sibuk berkutat dengan kesibukanya sendiri.

"Sejak kapan sih kita bikin dummy storyboard  lagi? Nggak green behavior banget," kucoba mencari bahan obrolan karena aku bukan tipe pegawai yang senang bekerja dalam keadaan hening.

"Kliennya agak kolot, Mal. Dia males kalo harus liat prototype digital. Makanya bantuin, ya," jawab Mas Satya sedangkan kamu tetap menganggapku seolah aku tidak ada.

Aku, kesal.

Kuambil salah satu majalah yang ada di hadapanku dan membukanya dengan cukup kasar.

Demi Tuhan, kamu pikir aku adalah sejenis penyakit yang akan menular hanya dengan sebuah tatapan mata atau apa, sih?

Aku baru saja akan mulai menggunting ketika melihat ponselmu yang tergeletak tidak jauh dari arah pandangku bergetar. Mau tidak mau aku langsung dapat menangkap nama yang tertera di layar.

Hani Aurelia calling...

Seolah tidak ada waktu tersisa, kamu menyambar ponsel detik itu juga.

"Ya, Han?" sapamu pelan tanpa berniat beranjak dari posisimu.

Bukankah kamu bisa pamit keluar untuk menerima panggilan tersebut?

"Lho, kok udah di apartemen lagi aja? Hmm.... Ya udah ambil travel jam 7 atau jam 8 aja nanti aku anter. Atau mau aku cariin tiket kereta nggak?"

Mati-matian aku berusaha tidak mendengarkan ucapanmu tapi tidak bisa. Bagaimana mungkin aku pura-pura tidak mendengar sedangkan kamu ada di hadapanku?

"Nggak tau bakal beres jam berapa tapi kalo kamu pake travel jam 8 nanti aku usahain jemput sebelum itu. Okay. Kabarin aja, ya."

Tidak lama. Bahkan mungkin percakapan itu hanya berdurasi 2 sampai 3 menit tapi sungguh rasanya seperti di neraka.

"Hani di Bandung?" tanya Mas Satya sesaat setelah kamu menyimpan kembali ponselmu di meja.

"Iya, semalem dateng soalnya mendadak harus gantiin temennya buat meeting sama klien tadi pagi."

"Oh, terus nginep di apartemen lo?"

Demi Tuhan, aku sungguh berharap kamu menyangkal.

Tapi kepalamu mengangguk.

"Datengnya kemaleman, kejebak yg kecelakaan juga di KM 67 apa ya, pokoknya sampe macet banget. Kebetulan pool travel-nya kan deket apartemen gue jadi ya udah semalem gue jemput. Tapi malem ini udah balik lagi sih dia ke Jakarta."

Dear, You.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang