"Hai, Sayang," sapaku langsung saat memasuki mobil Mas Juna yang membuat lelaki itu tertawa sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan. "Kok ketawa, sih?"
"Duh, saya masih nggak bisa kamu panggil gitu. Serius, deh," jawabnya masih dengan senyum terkulum yang membuatku ikut tersenyum juga.
"Kan yang manggilnya pacar sendiriiii." Aku masih menggoda Mas Juna yang wajahnya sekarang sudah memerah.
Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala. "Ini karena temen satu timnya cowok semua jadi gini, ya?"
Aku menggerakkan jariku ke kiri dan kanan, tanda menyangkal. "Aku waktu jaman kuliah banyak yang deketin. Jadi udah khatam banget soal sweet talk."
"Jadi saya cuma di-sweet-talk-in aja? Nggak bener-bener disayang?"
Pertanyaan Mas Juna membuatku menatapnya terkejut. Tanganku dengan otomatis mencubit perutnya gemas. "Kamu belajar dari mana bisa ngomong kayak gitu?"
"Ya dari pacar saya, lah. Siapa lagi?"
"AHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA...." Aku tertawa keras sampai menengadahkan kepala. Tanpa sadar kepalaku malah membentur kaca jendela. "Aduh!"
"Aduduh!" Mas Juna ikut mengaduh, tangannya terulur untuk mengusap kepalaku pelan. "Makanya jangan macem-macem. Sampe kepentok, kan."
"Abis kamu lucu," jawabku dan menarik seat belt. "Manis, lagi. Padahal pasti kamu capek ya hari ini? Tapi bela-belain jemput segala."
"Nggak kok," dalih Mas Juna. "Mumpung saya bisa. Bosen ketemu di kosan kamu terus."
"Kan biar deket. Biar kamu nggak terlalu capek."
"Nggak capek kok, Mal. Eh, besok kamu ada acara nggak?"
"Tadi Mas Satya ngundang satu tim buat ke rumahnya sih, Mas. Katanya syukuran kecil-kecilan sama tim. Niatnya mau dari minggu lalu tapi dia tiba-tiba ke Bali kan seminggu. Jadi baru ngajakin tadi."
"Ooooh, gitu, ya...."
Mobil sedan itu mulai melaju meninggalkan lahan parkir kantor dan langsung dihadapkan pada jalanan yang mulai padat. Maklum, jam pulang kantor dan hari Jum'at.
"Kenapa, Mas?" tanyaku sambil duduk menyamping, salah satu posisi favoritku ketika Mas Juna menyetir.
"Tadi pagi Ibu bilang pengen ketemu kamu. Makan siang gitu. Tapi ya udah kalau nggak bisa next time aja." Mas Juna kembali menepuk-nepuk kepalaku dengan sayang.
Aku menarik tangan itu dan menggenggamnya. "Minggu aja, yuk? Aku minggu nggak kemana-mana, kok."
"Nggak usah lah, next time aja. Kamu hari minggunya biar istirahat."
"Ih, gapapa kok. Beneran, deh. Hari minggu ya kita ketemu Ibu.
"Beneran?"
"Iya, Sayangggg."
"Tapi besok saya anterin kamu, ya?"
"Hmm...." Aku menimbang-nimbang sesaat. "Boleh, deh."
Mas Juna kembali tersenyum, memperlihatkan lesung pipinya yang baru akhir-akhir ini kusadari ternyata terlihat begitu menggemaskan.
"Besok siapa aja yang dateng?" tanyanya.
"Ya biasa aja itu duo rumpi sama satu tukang makan."
Mas Juna terkekeh mendengar julukanku untuk Wira, Dias dan tentu saja Mas Brian.
"Belum ada pengganti Jae, ya?"
Aku menggeleng. Tiba-tiba merasa tersinggung mendengar Mas Juna menyebutkan namamu.
"Mala...." Tangan Mas Juna kini bergulir untuk menyentuh pipiku pelan. "Nggak boleh loh marah sama orang lama-lama."
Aku mendelik sebal. Mas Juna memang tahu kalau aku masih memendam amarah padamu. Tapi yang dia tahu tidaklah lebih banyak dari apa yang anak-anak satu tim tahu. Dia hanya tahu kalau aku marah besar karena kamu pergi tanpa pamit.
"Aku nggak suka ya Mas kalo nggak dipamitin. Aku ngerasa nggak dianggap. Nggak dihargain," omelku lagi yang aku yakin sudah bosan sekali Mas Juna dengar. Dalam kurun waktu dua minggu, entah untuk kali keberapa lelaki itu mendengar aku mengatakan hal yang sama.
"Iya, saya tau. Udah dong jangan cemberut lagi. Maaf saya malah bahas Jae."
Aku kembali menoleh padanya.
"Maafin saya, ya?" Jemarinya kini mencubit pipiku pelan. "Senyum, dong."
How can I stay mad at him? He's way too sweet and I love the way he always know how to treat me well.
Aku pun hanya bisa mengangguk sambil tersenyum.
"Kita makan dulu, ya? Kamu lagi pengen makan apa?"
"Apa aja asal sama kamu."
"Mala...."
"AHAHAHAHAHAHA.... Ya Allah, padahal gini doang loh, Mas?!"
"Udah, ah. Saya digodain terus."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, You.
RomanceKisah tentang Nirmala, Jaevier, dan Arjuna yang terjebak dalam segitiga cinta tak kasat mata. Sampai akhirnya mereka menyadari bahwa sebesar apapun kasih sayang dan sekuat apapun ikatan cinta yang dimiliki tidak akan cukup untuk mempertahankan hubun...