[Eps.55]

3.9K 517 343
                                    

Hampir dua puluh menit, aku, kamu, dan Mbak Kinar duduk termangu gelisah di ruang rawatku. Dua puluh menit yang kami habiskan untuk bergelut dengan pikiran masing-masing.

"Kamarnya Juna nomer berapa, Nar?" tanyamu yang otomatis memecah hening.

"Kamu mau apa?" Aku menggantikan Mbak Kinar yang dari raut wajahnya sudah akan mempertanyakan hal yang sama.

"Biar aku yang ngomong sama dia."

Aku memijit pelipisku seketika. Aku tidak mungkin membiarkan kamu menemui Mas Juna. Apalagi kalau ternyata kamu menemuinya sendirian. Tapi bagaimana caranya supaya aku bisa ikut?

"Kita nggak tau Mas Juna denger atau ngeliat apa sampe dia mutusin buat pergi nggak pamit sama Mala, Jae! Jangan gila!" cerca Mbak Kinar sambil menggelengkan kepala kuat-kuat. Air wajahnya terlihat sangat khawatir juga kebingungan.

Kamu menggosok wajahmu dengan kasar. "Ya justru karena gue nggak mau dia sampe salah paham, Nar. Gue mesti ngomong langsung sama dia."

Giliran Mbak Kinar yang terlihat kesal. Tangannya menyisir rambut hitam panjangnya ke belakang. "Sekarang gue tanya, kalo lo ada di posisi Mas Juna, apa dia mau ketemu sama lo?"

Kamu seketika terdiam. Kamu tahu pertanyaan retorik Mbak Kinar tidak bisa kamu jawab. Begitu pun dengan aku. Aku juga tidak tahu harus melakukan apa. Bahkan aku tidak bisa membayangkan bagaimana kacaunya perasaan Mas Juna saat ini jika memang dia benar-benar salah paham.

"Ini urusan aku sama Mas Juna, biar aku yang selesein sendiri." Aku akhirnya berucap pelan seraya menatap kamu dan Mbak Kinar bergantian, meminta penguatan. Tapi kalian malah menunjukan ketidaksetujuan yangterlalu kentara.

"Sumpah ya, kalian tuh beneran sama-sama gila tau nggak?!?" hardik Mbak Kinar. "Bisa bayangin nggak sih perasaannya Mas Juna gimana?!? Masih untung dia nggak ngegebrak pintu sampe ancur."

Kamu semakin terlihat tidak terima dan mungkin saja akan balik menghardik Mbak Kinar kalau saja aku tidak kembali mengungkapkan apa yang aku pikirkan.

"Mas Juna perlu waktu. Aku tau Mas Juna pasti kaget. Tapi aku yakin dia bakal mau ngomong sama aku."

Diam-diam aku merapal kalimat itu di dalam hati selayaknya mantra.

Mas Juna selalu seperti itu. Seperti saat kejadian di restoran cepat saji. Dia memang pergi tapi ternyata dia tetap menunggu aku di mobil. Seperti saat aku memintanya untuk datang di malam sebelum dia pergi ke Jepang. Dia tidak menjanjikan tapi ternyata dia tetap hadir.

Aku yakin Mas Juna akan tetap kembali.

"Mal, tapi ka—"

"Kalau aku udah nggak bisa ngomong lagi sama dia, aku pasti minta bantuan kalian," potongku pelan. "Tapi aku mau coba ngomong berdua dulu sama Mas Juna."

Semarah apapun dan sekecewa apapun, aku yakin dia tidak akan pernah pergi.

Semarah apapun dan sekecewa apapun, aku yakin dia tidak akan pernah pergi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dear, You.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang