[Eps.44]

2.6K 433 125
                                    

Matahari sudah terbenam dan aku baru saja menyelesaikan solat magrib ketika terdengar bunyi langkah kaki yang terburu-buru menaiki tangga. Aku sudah bisa menebak kalau suara langkah kaki itu adalah milik Mbak Kinar karena Mas Juna juga Ayah tadi pamit ke masjid untuk melaksanakan solat maghrib berjamaah, menyisakan aku, Ibu dan Mbak Kinar di rumah besar ini.

Tidak sampai satu menit, kulihat Mbak Kinar berdiri di ambang pintu dengan wajah yang sangat terkejut.

"Mal, Tante Sonya baru bilang," katanya sambil melangkah masuk dan menarik kedua tanganku yang berniat melipat mukena yang sudah aku lepas. "Ini, semalem?" lanjutnya saat melihat jari manis di tangan kiriku yang sudah dihiasi cincin pemberian Mas Juna semalam.

Aku mengangguk sambil tersenyum simpul.

"Mal, maaf...." Mbak Kinar berkata tertahan yang membuatku terkejut.

"Lho, kok maaf sih, Mbak?" Aku memprotes. "Aku nggak dapet selamat?"

Perempuan itu kemudian cepat-cepat memelukku.

"Selamat, Mal. Seriously, I'm happy for you, for Mas Juna too," ucapnya pelan. "Please, maafin aku. Aku nggak tau."

"Kan aku memang belum bilang, Mbak."

Mbak Kinar terlihat benar-benar merasa bersalah. "Maafin aku, Mal. Kalau aku tau, aku pasti tadi bakal nge-stop Hani cerita." Wajahnya mengisyaratkan perasaan menyesal yang amat dalam.

Aku kembali tersenyum dengan memberikan kami jarak. Kuajak perempuan itu untuk duduk di tepian tempat tidur.

"Mungkin emang timing-nya mesti begini, Mbak." Aku terkekeh pelan karena memang merasa ini terlalu lucu untuk dianggap serius. "Maksudnya, ada waktu empat bulan sebelum ini yang sebetulnya bisa aja aku tau semuanya tapi ternyata aku baru tau setelah aku nerima lamaran Mas Juna. Memang udah jalannya aja kayak gini, Mbak. Bukan salah Mbak Kinar kok, kan tadi aku juga yang minta Mbak Hani. Jadi nggak usah ngerasa bersalah kayak gitu."

Mbak Kinar tetap terlihat gelisah meskipun aku sudah mencoba menenangkan.

Aku tidak akan berbohong dengan mengatakan kalau aku baik-baik saja. Bagaimana mungkin aku tetap baik-baik saja setelah mengetahui kalau kamu memang dengan sengaja menunjukkan kesedihanmu padaku di saat orang lain akan beranggapan kalau kamu menunjukkan kesedihanmu akan Mbak Hani?

Tapi di sisi lain aku merasa lega karena dengan mengetahui kebenaran tadi sesaat setelah menerima lamaran Mas Juna, setidaknya kesempatanku untuk menyakiti Mas Juna menjadi sedikit berkurang.

Hidupku sudah terasa sempurna dengan kehadiran Mas Juna yang datang secara baik-baik. Dia mengetuk pintuk hatiku dengan perlahan dan membuatku merasa aman.

Walaupun perasaan yang aku rasakan saat pertama kali bertemu dengan Mas Juna tidaklah sama seperti saat aku bertemu denganmu, pun dengan sagala perlakuannya yang tidak pernah sama seperti yang kamu lakukan, tapi aku tahu Mas Juna jauh lebih dari cukup.

Hatiku sudah memilih.

Itulah yang membuatku lega.

Setidaknya aku mengetahui kebenaran tentangmu saat aku sudah mengunci pintu yang selama empat bulan ini selalu aku biarkan terbuka dan diam-diam mengharapkanmu datang kembali.

"Mbak, kalau mau bilang sama Mas Satya, tolong bilangin jangan kasih kabar ke siapa-siapa dulu, ya?"

Mbak Kinar menoleh. "Kenapa?"

"Sebenernya aku udah spoiler di Instagram, orang-orang aja yang pada nggak sadar. Tapi lebih bagus sih nggak ada yang sadar soalnya Mas Juna bilang nanti aja ngabarinnya pas ngundang resmi lamaran. Lagian orang tua aku juga belum tau. Baru minggu depan aku sama Mas Juna mau ke Depok," jelasku sambil kembali tersenyum karena wajah Mbak Kinar masih saja tegang.

Dear, You.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang