[Eps.20]

2.7K 432 113
                                    

"Kamu nggak ngerasa aneh sama Mas Juna?"

Akhirnya aku mengutarakan satu pertanyaan yang terus menghantuiku itu dengan jelas. Seperti biasa, aku dan kamu menghabiskan akhir pekan bersama di apartemenmu.

"Aneh karena?" tanyamu tak acuh dan masih saja berkutat dengan games di ponsel. Padahal tujuanku menanyakan hal tadi adalah supaya kamu meninggalkan permainan online yang sudah kamu mulai sejak satu jam yang lalu.

"Ya aneh aja. Kayak ... baik banget gitu jadi orang. Tiba-tiba kirim ini, tiba-tiba kirim itu."

Kamu tergelak. "Orang baik kok malah kamu bilang aneh. Kamu tuh yang aneh."

Aku mengerucutkan bibir karena tidak puas dengan jawabanmu. "Udah gitu banyak banget lagi. Buang-buang uang aja nggak, sih?"

"Ooooooh, jadi kamu maunya sedikit aja dia kirimnya? Buat kamu aja?" tanyamu dengan nada bercanda.

"Emang kalo dia kirim makanan buat aku aja, kamu nggak marah?"

Jemarimu yang semula bergerak cepat di layar ponsel seketika membeku. Kamu menoleh untuk menatapku beberapa saat.

Yes! Aku berteriak dalam hati saat akhirnya kamu menyimpan ponselmu di meja.

"Kamu tuh sebenernya mau ngomong apa?"

Aku menghembuskan napas seraya mengikat rambutku asal, meninggalkan adonan pancake yang sedang aku buat.

"Kamu nggak marah dia baik sama aku? Kalau dia punya maksud lain, gimana?"

Kamu termangu beberapa saat sambil menggigit bibir.

"Emang kalo ada orang yang baik sama kamu tuh aku mesti marah? Kenapa?"

Skakmat. Aku tidak tahu harus memberikanmu jawaban seperti apa.

"Kamu itu dibaikin sama Juna. Diperhatiin makannya. Dikasih kerjaan juga. Dan bukan cuma kamu yang yang dia baikin, La. Dia juga baik sama aku, sama Wira, sama Dias. Nggak ada alasan bagi aku buat marah sama dia, kan?" tanyamu retorik. "Kecuali kalo dia jahatin kamu, nah baru aku bakal marah. Jadi kamu jangan negative thinking buruk sama dia."

Aku kembali menghembuskan napas, kali ini benar-benar tidak merasa puas atas jawabanmu.

Mungkin mulai sekarang aku harus menghitung berapa kali jawabanmu atas segala pertanyaanku tentang Mas Juna tidak memberiku satu kepuasan yang berarti.

Maksudku, bukankah ini terlalu kentara? Mungkin memang bisa jadi aku yang terlalu percaya diri dan menganggap Mas Juna punya maksud lain atas segala hal yang dia lakukan. Tapi kalau pun memang hanya aku yang terlalu percaya diri, Wira dan Dias tentu tidak akan seheboh itu.

Kedua rekan kerjaku itu benar-benar heboh setiap kali ada kiriman dari Mas Juna dan selalu saja mengolok-olok aku. Mas Satya juga sama saja, bahkan sepertinya atasanku itu tahu sesuatu.

Hanya kamu, yang tetap berpikiran positif dan bersikap biasa dengan perlakuan Mas Juna padaku.

"La, aku ajuin cuti buat hari Kamis ini."

Ucapanmu mengembalikan fokusku dari lamunan.

"Cuti? Buat?"

"Aku harus ke Jakarta."

"Ke Jakarta doang kok pake cuti?" Aku keheranan.

"Soalnya bukan urusan kerjaan. Eh, kerjaan sih tapi nggak ada sangkut pautnya sama kantor."

"Kerjaan apa?"

"Jadi tahun lalu tuh aku handle klien kantor kan, nah dia kemarin ngehubungin gitu katanya mau ngajak aku project bareng. Sebenernya iseng aja kemarin pas ngajuin cuti karena nggak yakin dibolehin. Taunya Satya bolehin."

Dear, You.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang