[Eps.29]

3K 451 264
                                    

"Tok.... Tok.... Tok...."

"Yaaa?"

"Neng Mala?"

Aku yang sedang mematut diri di depan cermin segera melompat ke depan pintu kamar kosku saat mendengar suara Ibu kosku dari depan kamar.

"Kenapa, Bu?" tanyaku sesaat setelah membuka pintu.

"Itu Aa pacar udah nunggu di depan," ujar wanita berusia awal 40-an itu sambil tersenyum.

Aa pacar. Dua kata yang diberikan Ibu kosku untuk memanggil Mas Juna. Sudah berulang kali aku coba mengoreksi panggilan tersebut karena Mas Juna bukanlah Aa pacar sebagaimana anggapannya. Tapi usahaku tidak pernah berhasil membuat wanita yang kerap dipanggil buna yang merupakan singkatan dari Ibu Ratna itu mengubah panggilannya untuk Mas Juna.

Selama satu bulan terakhir, Mas Juna memang kerap kali datang menemuiku paling tidak seminggu tiga kali. Biasanya dia akan datang saat hari sudah malam, setelah dia menyelesaikan pekerjaannya di kantor. Tapi tidak pernah sekalipun lelaki itu datang ketika jarum jam sudah mengapai angka lebih dari jam sembilan malam.

Di akhir minggu biasanya kuminta dia untuk diam di rumah karena jarak antara kosanku dan rumahnya nyatanya cukup jauh, apalagi jika ditempuh menggunakan kendaraan roda empat. Tapi lelaki itu kadang memaksa untuk tetap datang dan membawaku pergi untuk menghabiskan waktu bersama di luar seperti hari ini, walaupun waktu yang kami habiskan lebih banyak dilalui di perjalanan karena kondisi jalanan Bandung di akhir minggu yang selalu lebih padat dari hari-hari biasa.

"Udah cantik, kok. Sana cepet berangkat. Pulangnya jangan malem-malem," titah Buna dan berjalan menuju dapur sebelum aku sempat mengatakan apapun.

Aku pun kembali memasuki kamar untuk mengambil tas. Mas Juna hari ini mengajakku pergi untuk mengunjungi galeri milik temannya karea salah satu temannya yang merupakan seorang fotografer sedang mengadakan pameran.

Setelah mematut diri sekali lagi di depan cermin, aku berjalan pelan ke luar dan langsung disambut oleh sosok Mas Juna yang sedang duduk di kursi teras.

"Hai," sapanya sambil tersenyum. Senyum yang selama satu bulan ini membuatku selalu ikut tersenyum setiap kali melihatnya.

"Udah lama, Mas?"

Mas Juna menggeleng. "Nggak, kok. Baru banget malah. Tadinya mau ngabarin tapi Buna tadi udah liat saya jadi ya udah saya nggak kabarin. Nggak jadi keburu-buru kan siap-siapnya?"

Giliran aku yang menggeleng. "Berangkat sekarang?"

"Yuk!"

Mas Juna bangkit dari duduknya dan mengikuti aku yang sudah berjalan lebih dulu untuk keluar dari pekarangan rumah indekos berlantai dua ini. Saat kami sudah duduk di dalam mobil, terdengar bunyi ponsel yang bergetar.

"HP saya, bentar, ya."

Mas Juna mengeluarkan ponselnya dan keningnya seketika mengernyit bingung.

"Kenapa, Mas?"

"Kamu kalau temenin saya ke rumah Kinar dulu keberatan nggak?" tanyanya pelan.

"Kenapa harus keberatan sih, Mas?" Aku menjawab dengan pertanyaan retorik sambil menarik tali seat belt. "Mas Juna yang nyetir, kan?"

Lelaki itu terkekeh pelan. "Ya udah, bentar ya saya bales dulu chat-nya Ibu."

"Emang ada apa ke rumah Mbak Kinar?"

"Ini katanya mesti ambil undangan buat temen-temennya Ibu saya yang temen Ibunya Kinar juga. Besok Ibu sama temen-temennya mau arisan, jadi sekalian mau dikasihin. Nggak tau, lah. Ibu-ibu kok ribet, ya?" jawabnya dengan mata tertuju pada layar ponsel di hadapan.

Dear, You.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang