Suara kicau burung mengiringi langit fajar yang mulai terang. Perbincanganku dengan Mas Juna yang lebih banyak diisi oleh tangisan satu sama lain membuat aku pribadi merasa lelah luar biasa. Apalagi kami berbicang sejak awal dini hari sampai akhirnya adzan subuh berkumandang. Mas Juna yang sekarang tengah duduk menunduk di sofa setelah menyelesaikan solat fardu pertamanya hari ini juga kuyakin merasakan hal yang sama. Bahkan mungkin sebenarnya dia lebih letih ketimbang aku karena memendam apa dirasakannya sendirian.
Aku yakin, pasti ada sebagian kecil dalam diri Mas Juna yang menyesali kata-kata yang dia ucapkan tadi. Pasti ada sebuah penyangkalan dalam diri Mas Juna setelah mengatakan bahwa dia bersedia untuk melepas aku pergi.
Padahal aku tidak pernah meminta. Begitupun dengan kamu. Tapi Mas Juna seolah buta dan tuli. Dia tetap menganggap dirinya adalah dalang dari semua kejadian ini. Dia adalah dalang yang membuat kita berdua tidak bisa bersama.
Walaupun Mas Juna duduk bersandar di sofa, tapi dia tetap terlihat tegang. Tidak terlihat sama sekali ada kenyamanan dari posisinya duduk. Aku tahu, pilihannya untuk duduk menjauh dariku dan membisu dengan satu jempol yang sibuk menggosok-gosokkannya dengan jempol yang lain adalah salah satu upayanya menghukum diri sendiri. Menghukum dirinya yang membuatku menangis.
"Mas...."
Mas Juna terkesiap. Kedua jempol itu akhirnya menghentikan kegiatan tidak bermanfaatnya secara serta-merta.
"Saya udah minta kamu tidur lagi, Mala," ucapnya pelan seraya bangkit dan berjalan menghampiri aku dengan pandangan sedikit gusar.
Setelah membantu melipat mukena selepas aku solat subuh tadi, Mas Juna memang memintaku untuk kembali tidur. Tapi jangankan untuk terlelap, kepalaku rasanya terlalu bising. Aku tidak mungkin bisa tidur dengan lelap sedangkan masalah yang mengintai aku dan Mas Juna masih belum selesai. Aku tidak tahu kapan lagi perbincangan kami akan berlangsung jika bukan sekarang.
"Tidur lagi, ya? Kamu harus banyak istirahat," ujar Mas Juna lembut seraya menarik selimutku ke dada karena posisiku yang setengah berbaring.
Saat tangan Mas Juna sampai dalam jangkauanku, kutarik tangannya perlahan dan memintanya untuk duduk di ranjangku dengan isyarat.
Tapi lelaki itu bergeming.
"Kamu pucet, capek pasti. Tidur lagi, ya?" ulangnya.
"Jangan jauh-jauh, Mas. Aku mau kamu di sini." Aku memaksa. "Duduk di sini aja, jangan di sana."
"Ranjangnya sempit, nanti kamu nggak enak tidurnya. Saya di kursi aja, ya?" Mas Juna menunjuk kursi di depan nakas. Tapi aku menggeleng seraya mencengkrang tangan Mas Juna lebih kuat yang akhirnya membuat dia duduk dekat dengan posisiku berbaring.
Gurat kesedihan dan kelelehan tergambar nyata di setiap garis wajah Mas Juna. Lelaki yang entah sejak kapan benar-benar mengisi seluruh ruang kosong yang ada di dalam diriku itu kini terlihat tersiksa secara fisik maupun mental.
Kalau aku diberi kesempatan untuk menjelaskan siapa Arjuna Prayoga dan bagaimana lelaki yang kini duduk sambil menggigit bibirnya itu membuatku merasa disayangi, aku tidak akan mampu menjelaskannya dengan kata-kata yang indah karena apa yang dia lakukan padaku sangat jauh lebih indah dari kata-kata puitis yang pernah aku baca selama ini.
Mas Juna tidak datang ke hidupku secara tiba-tiba dan membuat duniaku kalang-kabut seperti saat aku kedatangan kamu. Mas Juna juga tidak hadir dengan gemuruh yang menggebu-gebu. Dia datang dengan langkah khasnya yang perlahan namun pasti. Dia mendekat dikala aku merasa ragu juga sendu. Namun sebelum aku sempat menyadari, dia berhasil mendekapku dengan tak kenal jemu.
Bahkan sebelum ada ikatan yang terucap, Arjuna Prayoga hadir untuk membuatku merasa lengkap seolah aku tidak perlu lagi mempertanyakan apa pun saat akhirnya dia memintaku untuk menjadi kekasihnya. Pun ketika akhirnya memintaku dengan sebuah cincin yang disodorkan, dia begitu jelas menunjukkan bahwa pinangannya bukanlah sisa cinta yang lain dan tidak akan pernah mungkin untuk dia bagi dengan siapa pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, You.
RomanceKisah tentang Nirmala, Jaevier, dan Arjuna yang terjebak dalam segitiga cinta tak kasat mata. Sampai akhirnya mereka menyadari bahwa sebesar apapun kasih sayang dan sekuat apapun ikatan cinta yang dimiliki tidak akan cukup untuk mempertahankan hubun...