[Eps.54]

3.6K 511 632
                                    

Segala hal yang ditulis dalam cerita ini disusun hanya untuk kepentingan dramatisasi belaka. Tidak ada niatan untuk memojokkan apalagi meragukan suatu ajaran tertentu. Semoga setiap pembaca dapat menyikapinya dengan bijak. Bila ada sesuatu yang kurang berkenan, harap untuk menghubungi penulis langsung di message atau dm twitter @ nayversation

 Bila ada sesuatu yang kurang berkenan, harap untuk menghubungi penulis langsung di message atau dm twitter @ nayversation

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mas...." Aku memanggilmu ragu.

Kamu yang semula menunduk dengan posisi menghadapku otomatis berpaling, membuat tubuhmu membelakangi pintu masuk, juga membuatku tidak bisa melihat wajahmu secara utuh. Tanganmu yang memutih karena mencengkram ujung ranjangku kamu angkat untuk buru-buru menghapus air matamu. Tapi percuma, aku masih mampu melihat butiran itu terus turun membasahi pipimu.

"Mas...." Aku mengulang. Dalam hati ingin sekali untuk memintamu mendekat. Tapi entah kenapa permintaan itu hanya bisa sampai di ujung lidah.

"Kamu tau nggak sih, La?" katamu tiba-tiba, membuatku semakin kebingungan.

Kamu.

"Setelah sekian lama cuma bisa liatin kamu dari foto-foto yang aku punya, setelah cuma bisa tau kabar kamu dari Instagram, aku tuh ngerasa kayak lagi mimpi banget liat kamu ada di sini malem itu. Aku seneng banget, La. Demi Tuhan, aku seneng banget sampe aku sempet mikir buat nahan kamu supaya tetep di sini aja, supaya aku bisa liat kamu terus."

Aku.

"Aku belum sempet ngomong, La. Aku belum sempet ngasih tau kamu dan jelasin semua hal yang mungkin selama ini selalu kamu pertanyakan." Kamu mencoba mengatur napasmu yang tersengal.

Wajahmu yang kembali menatap aku kini juga kembali menunjukkan ekspresi malam itu. Ekspresi ketakutan yang tidak ingin aku ingat tapi nyatanya sudah terekam sepenuhnya di dalam memoriku.

"Tapi waktu akhirnya aku mutusin buat ngomong semuanya, tiba-tiba kamu dengan jahatnya bikin aku ngeliat kamu di ambang maut. Bisa-bisanya kamu bikin aku rasanya pengen mati aja buat gantiin posisi ka-"

Kamu tidak berhasil membuat kata-katamu menjadi jangkap. Kalimatmu kembali tertelan, membuat ruangan yang hanya diisi oleh kita berdua ini dipenuhi oleh tangis pilu dan napasmu yang terus tersendat-sendat karena berlomba dengan kata-kata yang mungkin selama ini kamu simpan dalam diam.

Kalau aku sanggup, aku pasti sudah membawamu ke dalam rengkuhanku sekarang. Kalau aku tahu apa yang bisa membuatmu tenang, aku pasti sudah melakukannya. Paling tidak, kalau aku tahu apa yang bisa aku katakan untuk membuatmu merasa lebih baik, pasti sudah aku katakan.

Tapi aku tahu, apapun yang aku katakan dan aku lakukan hanya akan menambah luka untukmu yang kini sudah menangis putus asa. Tangis yang mungkin tidak pernah kamu tunjukkan pada siapa pun.

Tangis yang akhirnya membuatku yakin kalau kamu pernah, bahkan mungkin masih, menyayangi dan menginginkan aku untuk sedekat nadi.

"Aku nggak tau mesti ngapain, La. Aku bahkan nggak berani buat liat kamu lagi saat akhirnya kamu keluar dari ruang operasi. Aku tau harusnya aku nggak biarin kamu sendirian dan aku pun sejujurnya nggak mau kamu sendirian. Tapi rasa takut aku malem itu menang karena aku nggak pernah ngerasa setakut itu seumur hidup."

Dear, You.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang