Jarum jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku sudah menunjukan pukul 10:15, anggota tim dan rekan-rekan di kantor yang aku kenal sudah hadir dan acara pertunangan Mas Satya dengan Mbak Kinar sudah berlangsung selama 10 menit.
Mas Brian dan pasangannya duduk di deretan kursi di sayap kiri, bersama dengan anggota HRD yang lain. Sedangkan aku duduk di deretan kursi yang menghadap langsung ke arah pintu masuk, bersama dengan Wira dan Dias yang entah kenapa menempatkan aku di tengah-tengah mereka.
"Mas Jae nggak dateng?"
Bisikku pelan tapi sanggup didengar oleh Wira dan Dias dengan baik.
"Ibadah dulu nggak sih dia?" tanya Dias.
"Bukannya dia biasa ibadah minggu ya?" jawab Wira.
Tapi teka-teki tentang keberadaanmu itu tidak berlangsung lama karena retina mataku menangkap sosokmu di arah pintu masuk bersamaan dengan seorang perempuan cantik yang tidak aku kenal tiba-tiba muncul dari belakang tubuhmu yang tinggi menjulang. Baru saja aku akan menggoreskan senyuman, kulihat tangan perempuan itu menelusup di sela tubuh dan tangan kirimu.
Hatiku mencelos.
Mataku hanya bisa mengerjap bingung saat bertemu dengan milikmu.
Kamu kemudian memberi kode pada kami bertiga kalau kamu akan duduk di dekat pintu masuk saja, bersama perempuan itu.
"Anjir, ternyata dia yang bawa plus one."
"Itu Mbak Hani, kan?"
"Iya. Jadi balikan apa ya?"
"Kayaknya sih gitu. Liat aja itu tangan Mbak Hani nggak lepas."
Aku tidak lagi mendengar percakapan Wira dan Dias karena telalu sibuk menata sesuatu yang tiba-tiba terasa koyak di dalam dada.
Perempuan cantik berambut panjang itu terlihat sangat cocok bersanding denganmu. Senyumnya terlihat menawan. Riasan tipis yang dia gunakan menambah kesan anggun untuk wajahnya putih bersih.
Dan kamu, terlihat sangat bahagia dengan kehadiran perempuan itu di sampingmu.
"Pantesan aja ya Bang Satya kerja kayak orang gila. Lamaran aja mewah gitu apalagi ntar nikah."
"Sayang banget kayaknya Bang Satya sama Mbak Kinar. Padahal denger-denger Mbak Kinar mah nggak minta acara mewah-mewah."
"Tapi gue kalo jadi Bang Satya bakal kayak gitu juga sih kayaknya. Gila aja, Mbak Kinar anak perempuan satu-satunya. Bang Satya pasti pengen buktiin sama calon mertuanya kalo dia bisa bahagiain Mbak Kinar."
"Ya Allah, kenapa kalian rumpi bener, sih???" Aku melotot gemas ke atah Wira dan Dias yang sejak tadi tidak henti-hentinya membahas tentang acara lamaran Mas Satya dan Mbak Kinar.
Mungkin aku memang satu-satunya wanita di tim, tapi aku tidak pernah merasa kesepian karena kehadiran dua manusia seperti Wira dan Dias yang ternyata jiwa julitawati dan rumpinisasinya punya kadar melebihi batas wajar gender mereka.
Kami bertiga kini tengah duduk santai di salah satu restoran cepat saji dan memesan es krim karena cuaca Bandung hari ini terasa cukup panas. Aku yang semula berencana untuk langsung pulang terpaksa harus mengikuti mereka karena keduanya memaksa.
"Tapi mumpung lagi rumpi nih. Jadi yang tadi bareng Mas Jae tuh siapa?"
Aku menyendok es krim di hadapan, bersikap seolah-olah tidak acuh dan menganggap bertanyaan yang dilontarkan tidak mengandung indikasi ingin tau berlebihan.
Bagai kompor minyak yang sumbunya baru dinyalakan, kedua lelaki di hadapanku seketika duduk tegap dan bersiap memuntahkan segala hal yang mereka tau tentang kamu, juga perempuan yang tadi datang bersamamu.
"Itu tuh mantannya Bang Jae, Mal." Wira memulai.
"Yang waktu itu titipin kado ke Mas Brian?" tanyaku memastikan.
"Oh, iya. Gue lupa pas kejadian itu Mbak Mala udah bareng kita ya?" Dias menepuk jidatnya. "Iya yang ituuuu."
"Kalian emang kenal deket? Tadi keliatan akrab juga."
"Dibilang deket sih nggak juga. Tapi karena dia dulu suka ikut kita kalo dinner bareng jadi ya kayak akrab. Gimana aja kayak kita ke Mbak Kinar."
"Emang dulu putusnya kenapa sih mereka berdua?"
"Nggak tau juga. Yang tau cuma Bang Satya, Mbak Kinar sama Bang Brian. Tapi kalo nggak salah karena Mbak Hani pindah kota, sih."
"Yang kita tau mereka berlima tuh emang deket banget dari jaman SMA gitu."
"Hmm.... Gitu ya. Tapi kalo temenan deket gitu emang biasanya jadi susah move on, sih. Kalau sampe balikan lagi juga nggak heran." Aku berusaha memaklumi.
"Emang nggak bisa move on banget Bang Jae mah. Bucin abis. Udah gitu dulu kalo lagi ada masalah sama Mbak Hani suka keliatan banget gitu. Mood swing banget, Mal. Suka ikut bete kita tuh kalo dia udah bete."
Aku hanya bisa tersenyum kecil membayangkan apa yang Wira dan Dias ucapkan. Janggal rasanya membayangkan kamu yang aku kenal selalu memberikan keceriaan berubah menjadi sosok yang moody.
"Bener, Mbak. Abis mereka putus tuh ada kali sebulan penuh hawa di kantor dark abis. Padahal udah coba dicairin gitu di minggu kedua. Tapi tetep aja abis itu masih moody banget. Baru balik lagi sekitar sebulan sebelum Mbak Mala dateng deh kayaknya."
"Mungkin balik laginya karena udah berdamai dengan masa lalu kali?" Aku mencoba menerka. "Kan pas gue masuk tuh kayaknya udah mulai kontakan lagi?"
"Ya kalo liat kayak tadi sih kayaknya bukan berdamai doang tapi emang balik lagi."
Lalu keduanya tertawa. Aku tidak lagi fokus mendengarkan celotehan mereka selanjutnya karena sibuk memaki diriku sendiri.
Jadi selama ini aku selalu merasa senang untuk sesuatu yang nyatanya tidak berarti apa-apa untukmu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, You.
RomanceKisah tentang Nirmala, Jaevier, dan Arjuna yang terjebak dalam segitiga cinta tak kasat mata. Sampai akhirnya mereka menyadari bahwa sebesar apapun kasih sayang dan sekuat apapun ikatan cinta yang dimiliki tidak akan cukup untuk mempertahankan hubun...