[Eps.31]

2.9K 422 101
                                    

Tekadku sudah bulat.

Mulai hari ini, apapun yang terjadi, sekeras apapun kamu menghindar, aku harus bisa mengembalikan hubungan kita seperti dulu, seperti saat aku baru datang ke kantor ini, seperti saat aku dan kamu tidak pernah terlibat dalam ketidakjelasan itu.

Harus.

Karena tidak mungkin selamanya kita saling menghindar. Bukan, tidak seharusnya aku terus membiarkan kamu yang terus menghidar. Tidak bisa karena bagaimana pun kita adalah rekan kerja. Mungkin kamu nyaman dengan keadaan seperti ini, aku tidak bisa memastikan. Tapi yang jelas aku tidak bisa membiarkan keadaan ini semakin berlarut-larut.

One of us has to stop.

Toh kamu sudah kembali bersama Mbak Hani dan aku juga sudah bersama Mas Juna. Untuk apa lagi kita terjebak pada masa lalu yang bahkan saat masa lalu itu berlangsung pun kita tidak pernah memberikan kejelasan untuk satu sama lain.

Aku menghembuskan napas bertepatan dengan pintu lift yang terbuka. Aku pun keluar dan bersiap memasuki ruangan. Langkah kakiku yang semula terburu-buru perlahan melemah saat kulihat punggung Wira dan Dias yang berdiri mematung di ambang pintu.

"Guys?"

Keduanya menoleh dan kulihat raut wajah mereka kebingungan luar biasa yang malah membuatku semakin terheran-heran.

"Kenapa, sih?" tanyaku saat tinggal selangkah lagi sampai ke tempat mereka berdiri.

Keduanya melangkah dan memberi ruang bagiku untuk melihat apa yang membuat mereka diam tak bergerak.

Detik itu juga aku benci pemandangan itu.

Meja kerjamu yang biasanya penuh dihiasi oleh berkas-berkas berserakan dan berbagai alat tulis kantor kini kosong, yang tersisa hanyalah satu set PC kantor, seperti saat pertama kali aku datang ke kantor ini. Tampilan meja yang khas untuk menyambut penghuni baru.

Aku melangkah buru-buru dan menyimpan tasku sembarangan di meja kerjamu. Kemudian kubuka semua laci meja tersebut dan hatiku seketika mencelos.

Bukan, kamu bukan membereskan benda-benda itu ke dalam laci karena seluruh sudut laci meja kerjamu juga kosong. Benar-benar kosong tanpa ada satu barang pun tersisa.

"Ini apaan, sih?!? Mas Jae kemana?!?" Tanpa sadar aku membentak Wira dan Dias yang padahal aku tahu keduanya pun tidak akan mampu menjawabnya.

"Good Morning, everyone!!!"

Sapaan itu seketika mengalihkan pandangan kami bertiga menuju sumber suara. Mas Brian datang dengan membawa satu kotak besar berwarna cokelat muda yang tidak tertutup. Bisa kulihat beberapa alat tulis kantor menyembul dari dalam kotak tersebut.

"Bang Brian ngapain?" tanya Dias dengan dahi yang semakin berkerut.

Mas Brian tidak langsung menjawab. Dia menyimpan barang bawaannya di samping tasku yang masih ada di mejamu sambil tersenyum kecil. Senyum yang mengartikan bahwa ada sesuatu yang memang tidak kami ketahui.

"Mas!" Aku menegur keras.

"Masuk ruang meeting aja ya semua. Gue jelasin di dalem nanti sambil kita video conference sama Satya," katanya.

"Emang Bang Satya nggak ngantor?" tanya Dias yang sudah menyimpan tasnya di meja kerjanya sendiri.

Mas Brian menggeleng. "Dia mendadak ke Bali sama Kinar karena dapet kado honeymoon tiket pesawat dan perginya kemarin. Tapi gapapa tadi pagi gue udah ngehubungin dia. Lo tolong telepon Satya ya, Wir."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dear, You.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang