Perhatian, cerita ini beralur Dakjal! Sebelum baca, alangkah lebih baiknya berdoa dan menyiapkan mental serta hati agar tidak emosi. Sekian, terimagaji :)
* * *
Dengan dress selutut berwarna hitam, gadis cantik itu berjalan anggun memasuki gedung besar dan mewah tempatnya bekerja. Gedung ini merupakan sebuah perusahaan terbesar di Jakarta. Beruntung, gadis bernama Vivian itu bisa diterima di perusahaan ini sebagai sekretaris seorang Aldino Wilfred, lelaki yang terkenal sadis namun berparas tampan, setampan Dewa Hermes. Begitulah yang sering dikatakan orang-orang tentang Aldino.
Sebenarnya Vivian baru bekerja di sana selama satu minggu untuk menggantikan sekretaris lama yang berhenti dengan alasan tidak sanggup menghadapi Aldino, dan itu juga dirasakan Vivian. Rasanya dia selalu kelelahan hampir setiap hari akibat atasannya yang super manja itu.
Manja? Ya, sangat manja! Itu karena Aldino yang selalu meminta Vivian untuk ikut ke mana pun dia pergi, kecuali ke toilet dan ke rumahnya.
Bahkan setiap pagi, Vivian harus menyediakan kopi dan memasangkan Aldino dasi, membersihkan ruangan kerja sebelum Aldino datang, lalu mengatur semua jadwal makan pagi sampai malam, dan mengatur jadwal rapat. Belum lagi, urusan kantor yang harus Vivian kerjakan. Bukankah itu berlebihan? Dan satu lagi, pemikiran pria itu terbilang sangat rumit sehingga membuat Vivian terkadang kesal sendiri akibat tidak mengerti.
Dan yang membuat Vivian semakin tidak habis pikir dengan pria itu adalah caranya menatap Vivian. Dia selalu memberikan tatapan sinis dan wajah datar tanpa tersenyum. Bagaimana Vivian bisa tahan menghadapinya selama hampir empat belas jam dalam sehari?
Baru satu minggu saja, Vivian sudah mengeluh hampir setiap detik. Tapi, ya mau bagaimana lagi? Ini pekerjaan yang tidak boleh dia lewatkan. Kapan lagi bisa menjadi sekretaris di sebuah perusahaan besar?
Sebenarnya, Vivian bukanlah seseorang yang berasal dari keluarga susah. Dia bahkan berasal dari keluarga konglomerat di Yogyakarta. Ayahnya merupakan seorang dokter bedah saraf di Yogyakarta dan pemilik dari rumah sakit terbesar di kota itu. Tetapi yang membuat Vivian tidak betah tinggal di sana adalah Irene, ibu tirinya. Vivian sudah tidak tahan menghadapi ibu tirinya yang selalu menyindir bahkan memperlakukan Vivian dengan buruk.
Ibu kandung Vivian sendiri sudah meninggal lima tahun yang lalu dan ayahnya menikah lagi dengan seorang wanita cantik yang umurnya tak jauh berbeda dari Vivian. Mungkin hanya selisih sepuluh tahun. Hal itu membuat Vivian lebih memilih untuk merantau ke Jakarta, berharap bisa hidup lebih baik. Dan pastinya, terhindar dari celotehan Irene yang seakan merusak telinga Vivian saat mendengarnya.
* * *
Di dalam sebuah ruangan yang begitu luas, kedua orang itu duduk berdampingan di atas sofa. Sesekali Aldino memijit kepalanya pusing kala melihat beberapa lembar kertas yang kini berada di genggamannya.
"Bagaimana dengan rapat saya hari ini?" tanya Aldino lalu melirik ke arah Vivian yang duduk di sampingnya.
Vivian tersenyum ramah. "Rapat siang ini ditunda jadi minggu depan, Pak..."
"Okay. Kalau gitu, pesankan tempat untuk dua orang siang ini."
"Baik... Akan saya pesan sekarang."
Aldino mengangguk sekilas lalu mengambil jasnya yang sempat dia lepas beberapa saat. Gadis cantik itu ikut bangkit dari tempat duduknya dan membantu Aldino untuk memasangkan jas hitamnya.
"Ehm... Permisi, saya akan merapikan dasi Bapak." Tangan Vivian mulai menyentuh dasi berwarna biru gelap yang melingkar pada kerah kemeja Aldino. Padahal sudah berkali-kali dia melakukan ini, tapi tetap saja Vivian merasa gugup sampai terkadang menjadi mulas sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Third Person ✔
RomanceVivian pasti sudah gila! Tidak mungkin dia mencintai atasannya yang sudah beristri. Bekerja sebagai sekretaris seorang CEO super ganteng dan beribawa seperti Aldino Wilfred adalah posisi yang paling diidamkan oleh seluruh kaum hawa. Namun ternyata...