"Mbak..." panggil salah seorang suster sambil memegang lengan Vivian yang masih histeris. "Kami harus mempersiapkan pasien untuk—"
"NGGAK! JANGAN BILANG ITU! DIA BELUM MENINGGAL. AKU MOHON, AL! BANGUN!!!" Vivian histeris lagi dan lagi.
"Mbak, jangan kayak gini. Kita harus memindahkan pasien sekarang..."
"NGGAK BOLEH! ALDINO BELUM PERGI! DIA NGGAK MUNGKIN NINGGALIN AKU!"
"Nggak, nggak mungkin... Al, kamu pernah janji bakalan selalu ngelindungin aku kan? Aku tau kamu nggak akan ingkar janji! Jadi, aku mohon kamu bangun. Buka mata kamu, sayang..." Vivian mengusap wajah Aldino yang dingin dan membiarkan air matanya terjatuh bebas hingga membasahi pipi Aldino.
Sementara itu, Salsha hanya bisa menangis dalam diam seraya terduduk lemas di atas lantai. Bahkan kedua lututnya pun tak bisa diandalkan untuk menumpu badannya. Salsha menjambak rambutnya yang kian berantakan dan terus menangis sambil sesekali terisak pelan. Sekarang, orang yang ia sayang sudah pergi tanpa sempat berpamitan. Hatinya terasa begitu perih dan benar-benar hancur.
"Mbak, pasien udah nggak ada. Mbak nggak boleh bersikap seperti ini," seorang perawat kembali berujar.
"Nggak!" Vivian menggeleng kuat. "Dia nggak boleh pergi, dia belum pergi. Al, kamu bakalan balik lagi kan? Kamu nggak boleh pergi! Siapa yang ngizinin kamu pergi? Aku harus gimana biar kamu balik lagi?
"Maaf, mbak... Kita harus memindahkan pasien ke ruang jenazah!"
"Dia belum meninggal, dia nggak butuh tempat itu sekarang! Al pasti balik!" Vivian terdiam beberapa saat dan hanya menangis tersedu-sedu dengan wajah yang masih ia tenggelamkan di lekukan bahu Aldino. "Sayang, wake up..."
Suara nyaring dari mesin EKG masih senantiasa mengisi keheningan di dalam sana, membuat suasana menegangkan bercampur mengerikan serta duka semakin menjadi-jadi. Tak masalah jika Tuhan ingin nyawanya untuk menggantikan Aldino, yang Vivian inginkan hanyalah keselamatan lelaki yang begitu ia cintai ini. Vivian pernah tahu bagaimana ditinggalkan oleh orang yang disayang, yaitu ibunya. Dan ia tidak ingin hal buruk semacam itu terjadi lagi. Vivian belum siap jika harus ditinggalkan untuk kedua kalinya oleh seseorang yang sangat ia sayangi.
"Tuhan, aku cinta laki-laki ini. Tolong selamatkan dia, aku mohon..." Tak pernah terbayangkan di benak Vivian bahwa ia akan kehilangan satu sosok lelaki yang sangat ia sayang. Aldino adalah satu-satunya lelaki yang dapat membuat Vivian mau menyerahkan separuh hatinya untuk seorang laki-laki. Dan kenapa ia harus kehilangan dia secepat ini?
"Bangun! Please..."
Para perawat juga dokter tak kuasa menahan tangisnya, mereka tertunduk dalam sambil menahan air mata yang memaksa untuk turun. Beberapa orang-orang yang tadinya sembarangan masuk juga ikut menahan buliran air mata yang berdesakan ingin keluar. Bahkan ada yang mengalihkan pandangan mereka ke arah lain karena tak sanggup menyaksikan kejadian menyedihkan ini.
Salsha yang awalnya terduduk lemah di atas lantai kini beranjak bangkit dan berjalan mendekati Vivian. "Vi..." lirih Salsha.
Vivian menggeleng. "JANGAN JAUHIN AKU DARI AL!!" Ia semakin mengeratkan pelukannya pada raga Aldino, sama sekali belum berniat melepaskan pelukan ini. Hal itu membuat semua yang ada di dalam ruangan ini terpaku, mereka tak berkutik sedikit pun. Tidak ada yang berani mendekati Vivian lagi.
Kedua bahu Vivian bergetar hebat, sesuai dengan hatinya yang seolah bergetar dan bergejolak. Ingin marah, ingin protes, dan ingin berteriak senyaring-nyaringnya. Tetapi ia terpaksa harus mengubur rasa sakitnya itu sedalam mungkin. Sungguh, Vivian belum siap. Belum siap jika Aldino harus meninggalkannya sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Third Person ✔
RomanceVivian pasti sudah gila! Tidak mungkin dia mencintai atasannya yang sudah beristri. Bekerja sebagai sekretaris seorang CEO super ganteng dan beribawa seperti Aldino Wilfred adalah posisi yang paling diidamkan oleh seluruh kaum hawa. Namun ternyata...