BAB 15

53.2K 3.3K 179
                                    

Sudah sekitar dua puluh menit Vivian berbaring di dalam dekapan Aldino. Dan selama itu juga, dia seakan tidak bisa bernapas dengan lancar karena terlalu gugup. Dengan ragu, Vivian mendongak memberanikan diri menatap Aldino yang sepertinya sudah terbang ke alam mimpi. Cewek itu tersenyum manis seraya memandangi wajah tampan nan sempurna milik Aldino. Vivian tidak tahu sudah berapa kali ia mengagumi wajah ganteng ini. Sepertinya sudah lebih dari seratus kali.

Perlahan-lahan, Vivian berusaha menjauhkan tangan kekar Aldino yang sejak tadi melingkar pada pinggangnya. Setelah itu, ia beranjak pergi dari kasur dan langsung mengelus dadanya yang terasa tidak karuan sekarang. Jantungnya berdegup dengan begitu kencang, dirinya juga mendadak jadi keringat dingin akibat atasannya ini. Vivian menghembus napas panjang lantas berlari keluar dari kamar saat mendengar dering bel apartemennya. Setelah sampai di ruang tamu, kedua bola mata Vivian seketika membelalak kaget saat suara perempuan yang terasa tidak asing merasuki gendang telinganya.

"Vivian..." panggilan itu terdengar dari balik pintu bersamaan dengan bel yang terus berbunyi.

"Itu... Salsha?!" Jantung Vivian berdetak tiga kali lipat lebih cepat dari biasanya sampai ingin pingsan. Kenapa Salsha datang ke rumahnya tengah malam begini?! Apa dia mengetahui keberadaan Aldino? Dan dari mana perempuan itu mengetahui apartemen Vivian?

Meski ragu, Vivian akhirnya membukakan pintu untuk tamu tengah malamnya itu. Dia tersenyum ramah dan mengangguk memberi salam sekadarnya. "Salsha... Ada perlu apa ya ke sini? Terus, kok kamu bisa tau tempat tinggal aku?" tanya Vivian, berusaha untuk bicara setenang mungkin meski jantungnya sedang disko sekarang.

"Bukan hal susah buat tau alamat kamu, Vivian," ujar Salsha sambil tersenyum santai. Entahlah, Vivian juga tidak tahu, apakah senyuman itu bermaksud tulus atau mungkin hanya topeng. "Boleh kita bicara sebentar?"

"Bo-boleh."

Salsha terdiam menatap Vivian dengan penuh ketelitian. "Tamunya nggak mau diajak masuk dulu?"

Vivian mendadak gelagapan. Segala kemungkinan negatif mulai bermunculan di kepalanya. Bagaimana jika Aldino tiba-tiba bangun dan keluar dari kamar? Semuanya pasti akan menjadi semakin kacau! Vivian terdiam beberapa saat, benar-benar bingung harus bagaimana.

"Vi...?" Kening Salsha mengerut dalam.

"Ehm... Gini, apartemen aku masih berantakan banget dan belum dibersihin. Emangnya kamu nggak masalah kalo liat apartemen aku yang super bera—"

"It's okay!" selak Salsha dan langsung nyelonong masuk ke dalam sana.

Vivian hampir saja membuka mulutnya lebar karena merasa tidak percaya dengan tingkah istri atasannya ini. Bagaimana bisa dia masuk seenaknya begitu?!

Salsha berjalan ke arah sofa sembari matanya melirik ke sana-kemari, entah apa yang sedang dia cari sekarang. Cewek dengan rambut disanggul tinggi itu mendaratkan bokongnya di atas sofa ruang tamu apartemen Vivian, kemudian menyilangkan kakinya dengan anggun.

"Ehm... Kamu mau bicarain apa?" tanya Vivian lalu ikut duduk berseberangan dengan Salsha.

"Kamu tau Aldino di mana? Tadi dia sempet keluar, katanya mau cari udara seger, tapi sampai tengah malem gini dia belum balik juga."

Tubuh Vivian jelas menegang, bibirnya tidak bisa berkata-kata lagi. Dia tidak mungkin bilang jika Aldino ada di dalam kamarnya kan? Bisa-bisa dia mati malam ini juga karena dibunuh Salsha.

Setelah sekian lama berpikir dan mengatur kata-kata yang tepat untuk di sampaikan pada Salsha, Vivian pun kembali melanjutkan, "Maaf, tapi aku nggak tau keberadaan Pak Aldino sekarang. Aku juga nggak begitu ngurusin urusan pribadi dia. Terakhir kali, kita ketemu di kantor," alibi Vivian.

"Gitu, ya...?" Salsha terdiam beberapa saat sebelum pada akhirnya mengangguk mengerti. "Okay. Kalo gitu, aku permisi. Maaf karena udah ganggu kamu tengah malem begini," kata Salsha lalu bangkit dari posisi duduknya dan berjalan keluar dari apartemen Vivian.

Vivian masih mematung di atas sofa. Sejujurnya, Vivian merasa sangat bersalah karena harus berbohong begini. Tapi jika dia mengatakan yang sebenarnya, keadaannya pasti akan semakin memburuk kan? Dia juga tidak ingin membuat Salsha salah paham.

Sementara itu, Salsha menghentikan langkahnya tepat setelah menutup pintu apartemen Vivian. Air matanya mengalir keluar begitu saja. Dia bukan perempuan bodoh yang mudah untuk dibohongi. Dirinya jelas-jelas melihat sepatu Aldino berada di dalam rak sepatu Vivian. Jangan lupakan mobil Aldino yang masih terpakir di basement gedung apartemen ini.

Lalu, mengapa ia membiarkannya begitu saja? Mungkin sebagian orang akan bertanya begitu. Entahlah, dia juga tidak mengerti mengapa dirinya memilih untuk membiarkan suaminya berada di dalam sana bersama perempuan lain. Salsha menghela napas panjang, dia menghapus air matanya sekilas lalu kembali melangkahkan kakinya meninggalkan tempat yang semula dipijak.

* * *

Pukul enam pagi.

Cewek cantik dengan dress formal berwarna pastel dan high heels putih elegan melangkahkan kakinya sambil membawa semangkuk sup. Dia menaruhnya tepat di hadapan seorang pria tampan berjas biru gelap yang kini tengah duduk di balik meja makan. Lebih tepatnya, di dalam ruang makan apartemen Vivian.

"Saya udah buatin Bapak sup penghilang pengar. Bapak terlalu mabuk kemaren malem, jadi makan dulu baru kita ke kantor..." Vivian tersenyum ramah. "Saya akan menyiapkan mobil Bapak," ujarnya lalu segera berjalan menuju pintu utama tempat tinggalnya.

"Vivian..."

Langkah Vivian terhenti, dia berbalik menatap Aldino. "Iya, Pak?"

"Makasih buat tadi malam."

Vivian tersenyum lalu mengangguk. "Itu sudah kewajiban saya. Nggak mungkin saya membiarkan Bapak sendirian di sana dalam kondisi mabuk kayak gitu."

Bibir Aldino mengukir garis lurus, ia beranjak bangkit dari tempat duduknya dan melangkah mendekat ke arah Vivian. Awalnya Aldino melangkah lambat tapi sekarang mulai berpacu cepat, matanya menatap kedua bola mata Vivian dengan tatapan tak terbaca yang mampu membuat Vivian dag dig dug serr akibatnya. Vivian sudah tidak tahu lagi apa yang akan dilakukan cowok itu. Selama ini, Aldino selalu melakukan banyak hal tak terduga secara tiba-tiba. Vivian hanya bisa pasrah dan menyiapkan mental agar tidak terkejut lagi karena ulah atasannya yang satu ini.

Aldino berhenti tepat di hadapan Vivian kemudian berujar lembut. "Vi..."

"Iya, Pak?"

"Saya..." Aldino menghentikan ucapannya, ia menatap wajah Vivian yang sekarang menunjukkan ekspresi kebingungan sekaligus penasaran. Jujur saja, Vivian memang sangat penasaran dengan apa yang akan dikatakan Aldino. Gadis itu juga sedang menyiapkan mental karena dia tahu jika ulah Aldino selalu tidak terduga.

"Saya... punya perasaan sama kamu. Kata lainnya, saya mencintai kamu, Vi."

Baiklah, meski sudah menyiapkan mental, Vivian tidak dapat menahan dirinya untuk tidak terkejut. Jantungnya benar-benar tidak karuan sekarang. Napasnya terdengar terburu-buru, tubuhnya juga bergemetar saking gugupnya. Belum juga Vivian dapat tenang dengan situasi ini, tiba-tiba saja tubuhnya kembali ditarik ke dalam dekapan hangat Aldino. Secepat mungkin, Vivian berusaha untuk melepaskan diri dari pelukan erat itu. Dia sedikit mendorong tubuh Aldino, tapi hasilnya nihil. Nyatanya, Aldino jauh lebih kuat darinya sehingga dia tidak bisa lepas dari pelukan itu.

"Pa-pak..."

"Saya bilang, saya mencintai kamu, Vi. Kamu denger itu kan?"

Vivian tak menjawab. Dia masih diam dan mencoba mencari kesempatan untuk bisa lepas dari pelukan Aldino. Dan lagi-lagi dia gagal. Aldino malah semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh Vivian. Perlahan, aroma maskulin kesukaan Vivian kembali menyergap indra penciumannya. Bukannya menolak, Vivian malah semakin nyaman dengan pelukan ini. Tanpa disadari, kepalanya terjatuh begitu saja di atas dada bidang Aldino. Perlahan tangannya ikut membalas pelukan itu. Vivian tidak bisa membohongi perasaannya sendiri, bahwa...

Dia juga mencintai Aldino.

"Pak..." panggil Vivian.

"Hm?"

"Saya juga punya perasaan sama Bapak."

Tbc. 

The Third Person ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang