"Kamu bilang, kamu suka kerja di sana kan? Terus, apa kamu juga suka sama anak saya?"
Deg!!!
Vivian terdiam seribu bahasa, tak berani buka suara lagi. Kenapa pertanyaannya jadi melantur begini? Apa yang harus ia katakan? Dia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya kan?
Di bawah meja, Vivian mengepalkan kedua tangannya erat-erat, mencoba untuk menahan rasa takut dan gugup yang sedang ia rasakan sekarang. Lalu ia tersenyum seakan-akan dirinya baik-baik saja. "Iya, saya suka. Saya suka sama Pak Aldino karena dia atasan yang baik."
Anne terdiam, sedikit menyipitkan matanya untuk mengamati Vivian dengan teliti. Ternyata, Vivian bukanlah gadis bodoh seperti yang ia pikirkan, gadis ini begitu cerdik bahkan tidak terlihat gugup sekali pun saat menjawab pertanyaannya.
"Gini... Saya udah denger semuanya dari Salsha." Tatapan tajam Anne seolah menusuk Vivian secara terang-terangan. "Saya nggak bisa menyalahkan kamu atau pun Aldino, karena perasaan kalian memang nggak bisa disalahkan," tambah Anne.
Vivian masih diam, tapi setidaknya dia bisa bernapas lega setelah mendengar kelanjutan dari kalimat Anne. Dari tadi dia sudah berpikir jika dirinya akan mati sekarang juga. Apalagi, ibu dari kekasihnya ini selalu memberi senyuman tak tertebak yang mampu membuat jantung Vivian berdebar cepat seperti ada yang bermain roller coaster di dalam jantungnya.
"Vivian..."
"Iya, bu?"
Anne kembali tersenyum. "Emang bener, saya nggak bisa menyalahkan kalian. Tapi apa yang kamu lakukan itu nggak bener. Kamu tau itu kan, Vi?"
Napas Vivian terdengar tak beraturan, dia tidak mengerti apa maksud sebenarnya dari perbincangan ini. Vivian juga sudah tidak bisa menebak isi pikiran Anne. Topik yang dibicarakan seolah sengaja diputar-putar agar Vivian bisa mengartikan sendiri makna dari kalimat tersebut.
"Maksud saya, tolong jangan mengganggu hubungan anak saya dan Salsha. Pernikahan mereka berjalan dengan baik selama dua tahun terakhir, sebelum kamu datang."
"Bu Anne, saya—"
Sebelum Vivian sempat menyelesaikan perkataannya, Anne segera menyodorkan sebuah amplop putih pada gadis cantik itu. Meski ragu, Vivian akhirnya menyambut amplop tersebut dengan tangan bergetar dan jari-jari yang sudah terasa dingin.
"Saya mohon dengan hormat, tolong berhenti dari perusahaan Wilfred Group. Saya akan mencarikan pekerjaan lain yang lebih layak buat kamu. Satu lagi, tolong jauhin Aldino. Kalau gitu, saya permisi." Wanita paruh baya itu bangkit dari bangku kemudian melengos pergi begitu saja meninggalkan Vivian yang masih membeku di atas bangku.
Air mata Vivian berhasil lolos tepat saat dirinya membuka amplop putih itu. Vivian dapat melihat dengan jelas begitu banyaknya lembaran uang yang ada di dalamnya. Apa dirinya memang sehina itu sehingga bisa dibayar begini? Apa perasaannya pada Aldino sebanding dengan uang-uang ini?
Sakit. Hanya itu yang dapat Vivian rasakan. Ia tidak bisa melakukan apa pun lagi selain menangis kencang di dalam sana, membuat dirinya seketika menjadi tontonan orang-orang. Vivian tahu dirinya memang tidak pantas, tapi harga dirinya juga tidak serendah itu hingga bisa digantikan dengan uang seperti ini. Lalu selanjutnya, apa yang harus ia lakukan?
* * *
Vivian berjalan keluar dari restoran dengan langkah lemah dan kepala tertunduk dalam. Matanya masih terlihat sembap akibat tangisannya tadi. Malah sebelum keluar dari restoran, Vivian sempat terjatuh ketika ingin beranjak bangkit dari tempat duduk. Kedua kakinya yang lemas dan perasaan aneh yang berkecamuk membuat seluruh tubuhnya ikut tak berdaya. Vivian juga tidak terlalu mengerti dengan apa yang terjadi pada tubuhnya sekarang. Yang pasti, ia tidak tahu lagi harus bersikap seperti apa dengan situasi menyulitkan ini. Apa dia memang harus menjauhi Aldino sesuai dengan permintaan Anne?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Third Person ✔
RomanceVivian pasti sudah gila! Tidak mungkin dia mencintai atasannya yang sudah beristri. Bekerja sebagai sekretaris seorang CEO super ganteng dan beribawa seperti Aldino Wilfred adalah posisi yang paling diidamkan oleh seluruh kaum hawa. Namun ternyata...