BAB 33

35.4K 1.7K 95
                                    

Seorang gadis cantik dengan rambut cokelat panjangnya yang digerai kini hanya berdiri kaku di ambang pintu apartemen seraya menatap Aldino yang sudah berdiri tepat di hadapannya.

"Vivian..." panggilan lembut yang begitu menenangkan dari Aldino semakin membuat Vivian merasa bimbang.

"Al, kamu ngapain dateng ke sini? Bukannya aku udah kirim surat pengunduran diri?"

"Vi, aku tau kamu nggak serius. Tolong pikirin lagi dan—" perkataan Aldino terhenti kala matanya menemukan sosok Irene yang muncul tiba-tiba dari dalam apartemen Vivian lalu wanita itu ikut berdiri di samping Vivian.

"Hai, Al!" Irene tersenyum miring dengan tatapan mata tajam yang ditujukan untuk Aldino. Sedangkan yang disapa tidak begitu peduli, Aldino tak menanggapi Irene bahkan tak ingin sedikit pun berurusan dengan wanita gila ini.

"Irene, kamu masuk aja. Dan jangan ikut campur! Ini urusan aku sama Aldino," nada bicara Vivian terdengar memaksa.

"Aku perlu ikut campur dalam mengusir suami sahabat aku yang satu ini." Irene masih melemparkan senyuman sarkas yang mengerikan, wanita itu bersandar pada pintu yang terbuka dengan tangan bersedekap di depan dada.

Aldino mendengus kasar, berusaha bersabar dengan kelakuan Irene. Ia lalu secepatnya meraih pergelangan tangan Vivian dan menggenggamnya erat. "Ayo kita ke kantor! Kamu balik kerja lagi dan jangan khawatirin apa pun. Aku pastiin semuanya bakalan baik-baik aja."

Vivian mengelak dengan cepat, ia melepas paksa tangannya dari genggaman Aldino dan mundur satu langkah seolah tidak ingin dekat-dekat dengan lelaki itu. Aldino tak dapat berkata-kata lagi, hatinya terasa sakit melihat Vivian yang biasanya selalu perhatian dan peduli terhadap dirinya kini malah berusaha menjauh.

Vivian menatap Aldino lekat. "Nggak bisa! Aku akan pulang ke Jogja hari ini."

Tubuh Aldino tiba-tiba terasa kaku dan lidahnya seperti tak bisa bergerak lagi. Ia hanya menatap wajah cantik Vivian dengan perasaan tak percaya. Kedua tangan Aldino terkepal kuat menahan emosi, menandakan jika ia benar-benar tidak bisa menerima situasi membingungkan ini. Setelah berusaha menjauh dari dirinya, lalu sekarang, Vivian akan meninggalkannya? Dia tidak sanggup jika harus kehilangan perempuan yang paling ia sayangi.

Setelah bergeming beberapa detik, sorot matanya masih menatap kedua bola mata Vivian, Aldino akhirnya berucap lembut, "Vi, kamu balik kerja lagi, okay? Aku bakal urus semuanya, kamu nggak perlu khawatir. Ya...?"

"Al, aku mohon kamu pergi dari sini sekarang. Ayo akhirin semuanya sampai di sini dan jangan temuin aku lagi..." Vivian tak berani menatap Aldino, ia menundukkan kepala mencoba sekuat tenaga menahan air matanya agar tidak terjatuh. "Aku harap, kamu bisa hidup bahagia sama Salsha dan coba sesekali kasih perhatian ke dia. Aku tau, Salsha perempuan baik dan dia tulus sama kamu," lanjut Vivian. Dengan mata berkaca-kaca, ia akhirnya mendongak memberanikan diri untuk menatap Aldino.

"Kamu dengar kan, Al? Vivian sendiri yang minta kamu pergi, jadi lebih baik kamu pergi sekarang!" Irene berbicara dengan nada sengit.

"Vi–"

"Tolong... Jangan pernah muncul lagi di hadapan aku. Dengan begitu, akan lebih mudah buat aku ngelupain kamu," potong Vivian.

Perkataan Vivian membuat tubuh Aldino lemas dengan rasa sesak yang memenuhi dadanya. Perasaannya kacau, tak mampu dijelaskan. Apa dia tidak salah dengar? Tidak pernah terbayangkan sedikit pun di benaknya Vivian akan berkata seperti itu.

"Pergi... aku mohon," Vivian melirih pelan. Perlahan, kristal bening itu turun melewati pipi halusnya. Sungguh, Vivian sebenarnya tidak ingin melakukan ini. Tapi hanya inilah satu-satunya cara agar Aldino bisa membencinya. Dengan begitu, Aldino tidak akan menemuinya lagi. Itulah yang Vivian pikirkan sekarang, tapi nyatanya cewek itu salah besar. Bahkan jika harus berusaha seratus kali pun, Aldino akan rela untuk menemuinya kembali.

The Third Person ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang